VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa dua mantan pejabat tinggi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait kasus dugaan pemerasan dalam proses pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA).
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan pemeriksaan berlangsung pada Rabu (11/2025) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Dua pejabat yang dipanggil yakni RIS (Ruslan Irianto Simbolon), mantan Staf Ahli Menteri Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Antarlembaga, dan HS (Hery Sudarmanto), mantan Sekretaris Jenderal Kemenaker sekaligus eks Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) era Menaker Hanif Dhakiri.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK atas nama RIS dan HS,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dikutip dari ANTARA.
Baca Juga: KPK Panggil Tiga Eks Stafsus Menaker dalam Kasus Pemerasan RPTKA
Budi menjelaskan bahwa RIS diperiksa sebagai Pengantar Kerja Ahli Utama di Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Ditjen Binapenta dan PKK) Kemenaker periode 2021-2025. Sementara HS dipanggil sebagai mantan Sekjen Kemenaker dan mantan Direktur Pengendalian Penggunaan TKA (PPTKA) Kemenaker.
Meski hadir di KPK, Ruslan Irianto Simbolon mengaku tidak diperiksa secara formal sebagai saksi. “Tadi enggak ada pemeriksaan. Hanya melengkapi saja,” ujar Ruslan saat keluar dari gedung KPK pukul 13.26 WIB.
Baca Juga: KPK Tetapkan 8 Tersangka Korupsi TKA Kemenaker, Kerugian Negara Rp 53 Miliar
Selain RIS dan HS, KPK juga memeriksa dua saksi lainnya, yaitu MA (pensiunan kontraktor dari CV Sumber Roll A Door) dan AM (karyawan PT Samyang Indonesia). Pemeriksaan ini merupakan bagian dari upaya pendalaman kasus korupsi yang diduga melibatkan banyak aparatur sipil negara (ASN) di lingkungan Kemenaker.
Sebelumnya, KPK pada 5 Juni 2025 mengungkapkan identitas delapan tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara (ASN) di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Para tersangka dalam kurun waktu 2019—2024 telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA. KPK menjelaskan bahwa RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh TKA agar dapat bekerja di Indonesia.
Bila RPTKA tidak diterbitkan oleh Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para TKA akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan demikian, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
KPK mengungkapkan bahwa kasus tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin saat menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan oleh Hanif Dhakiri pada 2014-2019, dan Ida Fauziyah pada 2019-2024.