LANGIT Timur Tengah kembali membara. Eskalasi konflik yang semula berpusat di Gaza kini telah meluas, menyebar seperti api dalam sekam dan mengancam stabilitas seluruh kawasan.
Serangan balasan antara Iran dan Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya, ketegangan yang tak kunjung padam di perbatasan Lebanon, serta krisis keamanan di Laut Merah telah secara drastis mengubah peta risiko geopolitik. Ini bukan lagi sekadar perang proksi; ini adalah potensi nyata sebuah kebakaran regional yang lebih besar.
Di tengah pusaran krisis yang semakin kompleks ini, satu pertanyaan mendesak dan fundamental muncul bagi Indonesia: bagaimana kita menjamin keselamatan ratusan ribu warga negara kita yang hidup dan mencari nafkah di sana?
Data resmi menunjukkan kehadiran Warga Negara Indonesia (WNI) dalam jumlah yang signifikan di negara-negara yang berisiko terdampak langsung. Mesir, Yordania, Lebanon, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, hingga Iran sendiri adalah rumah bagi para pekerja migran Indonesia (PMI), profesional, mahasiswa, staf diplomatik, dan keluarga mereka.
Mereka bukan sekadar angka dalam statistik; mereka adalah wajah-wajah Indonesia di perantauan yang kini terpaksa hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian.
Ancaman yang mereka hadapi bersifat multidimensional. Mulai dari risiko fisik yang paling nyata terjebak dalam baku tembak, menjadi korban salah sasaran serangan rudal, atau terperangkap di wilayah konflik hingga dampak turunan yang tak kalah pelik.
Aktivitas ekonomi yang terganggu, dislokasi logistik, dan lonjakan biaya hidup adalah ancaman nyata bagi kesejahteraan mereka. Lebih dari itu, tekanan psikologis akibat hidup di bawah bayang-bayang perang yang dapat meletus kapan saja adalah beban berat yang tak terlihat.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri dan seluruh perwakilan RI di kawasan, telah mengambil langkah-langkah awal yang patut diapresiasi. Imbauan perjalanan (travel advisory) telah dinaikkan ke level siaga, komunikasi dengan simpul-simpul komunitas WNI diintensifkan, dan yang terpenting, rencana kontingensi termasuk skenario evakuasi telah disusun dan dimatangkan. Namun, kita harus berani bertanya: apakah ini cukup?
Situasi yang sangat dinamis menuntut respons yang tidak hanya reaktif, tetapi juga antisipatif dan proaktif. Rencana kontingensi tidak boleh hanya menjadi dokumen statis di atas meja; ia harus menjadi sebuah mekanisme hidup yang terus diperbarui sesuai dinamika di lapangan.
Simulasi dan sosialisasi skenario darurat harus menjangkau hingga ke kantong-kantong WNI terkecil, memastikan setiap individu tahu apa yang harus dilakukan, ke mana harus pergi, dan siapa yang harus dihubungi saat situasi terburuk terjadi.
Di sisi lain, upaya perlindungan WNI tidak dapat dipisahkan dari sikap politik luar negeri Indonesia. Sikap tegas dan konsisten Indonesia dalam menyuarakan deeskalasi, mendesak gencatan senjata permanen, dan mendorong dialog adalah bagian tak terpisahkan dari upaya melindungi warganya.
Diplomasi perdamaian yang diperjuangkan Indonesia di panggung dunia di PBB, OKI, dan forum bilateral adalah payung pelindung utama.