VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberikan penghormatan kepada perempuan Aceh, khususnya korban, penyintas, dan pembela HAM, yang dinilai berperan penting dalam menjaga perdamaian sejak Perjanjian Helsinki 2005.
“Perempuan Aceh telah memberikan wajah perempuan yang tidak pernah lelah bertahan, menyuarakan, dan berdiri di depan dalam merawat damai sepanjang dua puluh tahun,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Yuni Asriyanti dalam Webinar Internasional memperingati 80 tahun Kemerdekaan RI dan 20 tahun MoU Helsinki, Selasa (19/8/2025).
Meski 20 tahun berlalu, perempuan korban konflik masih menanggung trauma, kehilangan anggota keluarga, keterbatasan ekonomi, serta minimnya akses pemulihan dan keadilan.
Baca Juga: Khofifah Blusukan ke Pasar Soponyono, Pastikan Harga Beras Medium SPHP Terjangkau
“Perempuan penyintas mengingatkan kita semua bahwa perdamaian bukan sekadar tanda tangan perjanjian, tetapi amanah moral negara untuk menegakkan keadilan dan pemulihan. Tanpanya, perdamaian akan rapuh,” tegas Komisioner Dahlia Madanih.
Komnas Perempuan menilai upaya reparasi tidak boleh parsial, melainkan menyeluruh dan memperhatikan kebutuhan spesifik perempuan korban, termasuk perempuan disabilitas dan kelompok minoritas.
Komisioner Sondang Frishka Simanjuntak menekankan, partisipasi bermakna perempuan di wilayah konflik dan pasca-konflik sudah dimandatkan melalui Resolusi PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan.
Baca Juga: Lebih Dari 10 Ribu Desa Ditargetkan Sudah Dialiri Listrik Pada 2029-2030
Indonesia juga telah mengadopsinya dalam Rencana Aksi Nasional P3AKS, termasuk di Aceh melalui rencana aksi daerah.
Selain itu, prinsip CEDAW tentang kesetaraan substantif mewajibkan negara memastikan hak perempuan atas tanah, sumber daya alam, serta pencegahan perampasan yang bisa melemahkan komunitas pascakonflik.
Komnas Perempuan juga mendorong adanya pendidikan damai yang inklusif dan responsif gender agar pengalaman perempuan korban tercatat dalam ingatan kolektif bangsa dan diwariskan sebagai pelajaran bagi generasi mendatang.
“Suara perempuan korban adalah penunjuk arah bangsa. Mereka bukan hanya saksi luka masa lalu, tetapi juga penjaga masa depan perdamaian. Negara wajib hadir dengan kebijakan yang berpihak,” pungkas Yuni.