VOICEINDONESIA.CO, Temanggung – Batu bata berlumut yang menumpuk di sudut Kecamatan Kedu, Temanggung menjadi pengingat pahit mimpi yang tak pernah terwujud. Seni (47), pekerja migran yang berangkat ke Malaysia 21 tahun lalu dengan harapan membangun rumah layak, justru mengalami nasib tragis, disekap, tak digaji, dan terputus komunikasi dengan keluarganya selama lebih dari dua dekade.
Keluarga menyambut kepulangan Seni pada Minggu (23/11/2025) dengan perasaan campur aduk. Kakaknya Ismi dan istrinya Walmi mengenang kembali hari-hari sebelum kepergian yang mengubah hidup Seni selamanya.
“Bata itu dulu dibeli Seni sebelum berangkat,” ujar Walmi dalam bahasa Jawa sambil menunjukkan tumpukan bata yang kini membatu dan ditumbuhi lumut karena tak tersentuh bertahun-tahun.
Baca Juga: Pekerja Migran Sulit Akses Modal, Pemerintah Andalkan Bank Swasta Salurkan KUR Rp 208 Miliar
Rumah impian Seni tak pernah terbangun. Di lokasi itu kini berdiri rumah papan berlantai tanah yang sudah tidak ditinggali. Di dalam rumah Ismi, tergantung foto keluarga lama berisi Seni, ayahnya Amat Asri, ibu sambungnya Tumirah, dan kakaknya Iswati dari masa sebelum pernikahan.
“Itu foto sebelum Seni nikah. Waktu itu saya kerja di Sumatera,” kata Ismi.
Baca Juga: Cegah Calo dan TPPO, DPR Dorong Layanan Satu Pintu PMI di NTB
Seni meninggalkan seorang anak bernama Riki Alfian yang masih balita saat ia berangkat ke Malaysia. Selama Seni hilang tanpa kabar, Riki tumbuh dalam asuhan keluarga hingga dewasa, menikah, dan memiliki anak sendiri. Cita-cita sederhana Riki dulu adalah menjadi pemain sepak bola. Sementara suami Seni akhirnya menikah lagi karena ketidakpastian yang terlalu panjang.
Kepergian Seni berawal dari ajakan seorang tetangga. Mereka sempat bersama di Jakarta sebelum berpisah karena mendapat majikan berbeda saat tiba di Malaysia. Ketua RW 07 Ruwan yang masih kerabat dekat mengingat jelas alasan kepergian Seni.
“Bapaknya Seni sama ibunya saya kakak beradik,” ujarnya.
Ruwan menyebutkan mimpi membangun rumah bukan sekadar keinginan pribadi Seni, melainkan harapan untuk masa depan keluarga yang lebih layak dari kondisi saat itu.
“Rumahnya dulu blabak, papan semua. Pasti pengin punya rumah bata yang layak,” jelasnya.
Tumpukan bata berlumut itu menyimpan kisah tentang mimpi tertunda, tentang perempuan yang terpisah dari kehidupan yang ia kenal, dan tentang keluarga yang bertahan dengan harapan tipis selama 21 tahun. Kini setelah Seni berhasil diselamatkan, keluarga hanya berharap waktu dapat memberi ruang bagi penyembuhan.
Kasus Seni menjadi cermin buram nasib ribuan pekerja migran Indonesia yang berangkat dengan harapan mengubah nasib, namun justru terjebak dalam eksploitasi tanpa ada yang mendengar jeritan mereka. Pertanyaan besar tersisa adalah mengapa sistem perlindungan pekerja migran gagal menjangkau Seni selama dua dekade, dan berapa banyak lagi yang bernasib serupa namun belum terungkap.
