VOICEINDONESIA.CO, Batam – Batam menjadi salah satu wilayah paling rawan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Indonesia.
Letaknya yang strategis di perbatasan internasional kerap memicu oknum sindikat mengirim pekerja migran Indonesia (PMI) secara ilegal.
Ketua PCNU Kota Batam, Muhammad Zaenuddin, menegaskan bahwa Batam merupakan wilayah rawan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena menjadi daerah perbatasan dan jalur lintas negara yang kerap dimanfaatkan jaringan perdagangan orang.
Zaenuddin mengatakan tingginya permintaan tenaga kerja di luar negeri turut mendorong munculnya praktik bisnis buruh migran ilegal yang terorganisasi lintas negara.
“Pada 2011, saya pernah riset. Aktivitas ilegal sangat tinggi, termasuk adanya pelabuhan tikus, karena Batam berbatasan langsung dengan negara lain,” ujarnya dalam Seminar Inspirasi Imam Katolik dan Islam Dalam Penanganan dan Pencegahan TPPO, Kamis (28/11/2025).
Baca Juga: Waspadalah! Terorisme Mulai Gencar Targetkan Perempuan dan Anak-anak
TPPO dalam Perspektif Islam
Zaenuddin, yang juga Dosen Politeknik Negeri Batam, menjelaskan bahwa dalam wacana Islam Klasik, perdagangan manusia dikenal dengan istilah bai’-bigha, yaitu praktik jual beli perempuan.
Sementara dalam literatur hukum Islam, human trafficking dapat diqiyaskan dengan perbudakan, meski bentuknya kini lebih kompleks sehingga disebut sebagai perbudakan modern.
Ia menegaskan bahwa perdagangan orang tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi juga merusak prinsip-prinsip dasar ajaran Islam seperti keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, dan kerahmatan.
Zaenuddin mengutip Hadist Riwayat Imam Muslim yang menyebut tiga golongan manusia yang akan menjadi musuh Nabi di hari akhirat: Pertama, Orang yang melanggar sumpah setia kepada Nabi. Kedua, Mereka yang memperjualbelikan manusia merdeka lalu mengambil keuntungannya.Ketiga, Mereka yang mempekerjakan buruh, mengambil hasil kerjanya, namun tidak memberikan upah yang layak.
Menurutnya, hadist ini menunjukkan betapa kerasnya Islam mengecam segala bentuk eksploitasi manusia.
Zaenuddin juga merujuk pada Surat An-Nur ayat 33, yang menegaskan: Kewajiban melindungi orang yang lemah, perintah membebaskan manusia dari perbudakan, larangan mengeksploitasi tubuh perempuan.
Diamana hal tersebut bertujuan untuk menggagalkan praktik-praktik perdagangan manusia yang pernah terjadi pada masa jahiliyah.
Ia mengingatkan bahwa Islam lahir untuk mengangkat derajat perempuan dan menghapus praktik-praktik yang merendahkan martabat manusia.
“Pada masa jahiliyah perempuan dinistakan. Saat Umar bin Khattab masuk Islam, ia menangis mengingat dahulu membunuh anak perempuannya. Islam datang untuk menegakkan kesetaraan dan memuliakan perempuan,” jelasnya.
Baca Juga: Kekuatan Kolektif Serikat Pekerja Jadi Kunci Cegah TPPO
TPPO Bertentangan dengan Maqashid Syariah
Zaenuddin menegaskan bahwa TPPO merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip kemanusiaan karena dalam Islam manusia dipandang sebagai makhluk yang mulia.
Ia menyebut salah satu tujuan utama syariat Islam (Maqashid Syariah), yaitu Hifdz an-Nafs atau menjaga jiwa, yang mengandung makna antara lain: Melindungi hak hidup manusia, menjamin keselamatan jiwa, menolak segala bentuk kekerasan dan eksploitasi.
“Dalam Islam, membunuh satu manusia tanpa alasan yang dibenarkan sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Karena itu Islam melarang keras terorisme dan segala bentuk pelanggaran terhadap keselamatan jiwa,” tegasnya.
Upaya Penanggulangan TPPO
Dalam upaya menanggulangi TPPO, Zaenuddin mengatakan perlunya memutus rantai kejahatan dimulai dari keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Menurutnya, perlu political will dalam bentuk regulasi, kebijakan dan anggaran dalam upaya pencegahan dan penanganan rehabilitasi korban TPPO, serta efek jera bagi pelaku.
“Mengimplementasikan nilai-nilai agama yang transformatif dan edukatif bukan ujaran kebencian. Tapi nilai agama yang edukatif, transformatif dalam pencegahan trafficking,” tutupnya.

