VOICEINDONESIA.CO, Jenewa – Pemerintah Indonesia mengeklaim telah berhasil mencegah 5.913 orang dari upaya migrasi melalui jalur tidak resmi sepanjang 2025. Capaian ini disampaikan sebagai bukti efektivitas sistem terintegrasi pengawasan rekrutmen yang disebut Cisco P2MI.
Meski demikian, pemerintah mengakui masih menghadapi tantangan serius terkait operasi penipuan online atau cyber trafficking yang menjerat pekerja migran Indonesia.
Direktur Jenderal Pelindungan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) Rinardi Rusman menyampaikan hal ini dalam Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa, Selasa (2/12/2025).
Baca Juga: Aib di Jenewa: Data Register Pekerja Migran Nol, Indonesia Dianggap Abaikan Perlindungan
“Dalam upaya memastikan migrasi yang aman, teratur, dan reguler, kami memiliki prosedur rekrutmen yang diawasi pemerintah melalui sistem terintegrasi, atau yang kami sebut Cisco P2MI. Pada tahun 2025 saja, upaya kami telah berhasil mencegah 5.913 individu dari upaya migrasi melalui jalur tidak teratur,” ujarnya.
Rinardi mengungkapkan sejak 2024, tim respons cyber trafficking telah mengidentifikasi dan memulangkan 1.324 korban dari Kamboja, Myanmar, dan Laos.
“Kami menghadapi tantangan yang muncul secara langsung, termasuk lingkup operasi penipuan online. Tim respons cyber trafficking kami telah mengidentifikasi dan memulangkan 1.324 korban dari Kamboja, Myanmar, dan Laos sejak 2024,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Rinardi memaparkan peningkatan anggaran nasional dari Rp260 miliar pada 2020 menjadi lebih dari Rp687 miliar pada 2025 untuk program pelindungan dan pemberdayaan pekerja migran.
Pemerintah juga menerima 20.675 pengaduan korban melalui berbagai saluran yang dapat diakses, termasuk call center nasional dan layanan WhatsApp selama periode 2017 hingga Maret 2025. Namun hanya 1,7 persen yang diselesaikan.
“Kami telah menerima dan menyelesaikan setiap 1,7 persen dari 20.675 pengaduan korban melalui berbagai saluran yang dapat diakses, termasuk call center nasional dan layanan WhatsApp selama periode 2017 hingga Maret 2025,” papar Rinardi.
Pemerintah Indonesia secara aktif memperluas perjanjian notifikasi konsular wajib dengan target menambah 15 negara mitra baru pada 2027.
Data yang disampaikan kepada Komite menunjukkan 82,6 persen pekerja migran Indonesia adalah non-imigran, dan persentase yang sama dari pekerja migran Indonesia yang mencari bantuan adalah migran tidak teratur.
“Data yang disampaikan kepada Komite menunjukkan bahwa 82,6 persen pekerja migran Indonesia adalah non-imigran, dan 82,6 persen pekerja migran Indonesia yang mencari bantuan adalah migran tidak teratur. Ini menekankan risiko serius seperti perlakuan tidak adil, kekerasan, kondisi kerja yang buruk, eksploitasi dan perdagangan orang, serta kebutuhan untuk langkah-langkah komprehensif,” jelasnya.
Pemerintah mengakui adanya kesenjangan kritis dalam sistem data, khususnya kurangnya data terpilah spesifik tentang pekerja migran tidak berdokumen dan keluarga mereka yang telah dideportasi, serta tentang anak-anak migran tanpa pendamping.
“Kami mengakui kesenjangan kritis dalam sistem data kami, khususnya kurangnya data terpilah spesifik tentang pekerja migran tidak berdokumen dan keluarga mereka yang telah dideportasi, serta tentang anak-anak migran tanpa pendamping. Kami berkomitmen untuk membangun database terpusat dan komprehensif yang melacak semua aspek Konvensi,” tandasnya.
Sementara itu, anggota Human Rights Working Group (HRWG) Ariela Naomi Syifa mengungkapkan komite PBB menaruh perhatian besar pada isu penyalahgunaan teknologi digital yang menyebabkan online scamming dan forced criminality.
Dalam diskusi publik di Hotel Alana Surakarta, Selasa (2/12/2025), Syifa menyebutkan komite mempertanyakan sejumlah hal krusial.
“Mereka menanyakan soal bagaimana misuse of digital technology bisa menyebabkan online scamming, kemudian forced criminality yang akhirnya menaruh pekerja migran dalam resiko trafficking in person. Pertanyaan lainnya itu ada menyentuh terkait kinerja Satgas TPPO hingga sekarang, proses rekrutmen yang dilakukan private agencies, jalannya revisi UU 18 tahun 2017, transformasi dari BP2MI ke KP2MI, dan lemahnya koordinasi antar pemerintah dalam hal pelindungan pekerja migran,” ungkapnya.
Syifa menjelaskan shadow report atau alternative report yang disampaikan masyarakat sipil mengisi kekosongan data yang tidak dimiliki pemerintah.
“Data-data yang teman-teman miliki ini adalah data-data yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Ini adalah data dari lapangan. Sehingga ketika kita melaporkan, kita mesti ingat komite itu anggota 14 bersifat independen dan hanya satu yang dari Asia. Laporan dari masyarakat sipil mencakup isu-isu yang jarang mendapat perhatian pemerintah seperti pekerja migran dengan disabilitas, pekerja di wilayah konflik, pekerja musiman, hingga stateless person,” pungkasnya.

