VOICEINDONESIA.CO, Jenewa – Pemerintah Indonesia mengungkapkan dari total 20.675 pengaduan pekerja migran (PMI) yang diterima dalam rentang waktu 2017 hingga Maret 2025, hanya 1,7 persen yang berhasil diselesaikan, atau sekitar 351 kasus.
Pemerintah mengakui adanya kesenjangan kritis dalam sistem data, khususnya kurangnya data terpilah spesifik tentang pekerja migran tidak berdokumen.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Pelindungan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) Rinardi Rusman dalam Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa, Selasa (2/12/2025).
Baca Juga: Di Sidang PBB, Pemerintah Klaim Anggaran Pelindungan PMI Melonjak 164 Persen
“Dalam menjamin akses terhadap keadilan dan mekanisme kepatuhan, kami telah menerima dan menyelesaikan setiap 1,7 persen dari 20.675 pengaduan korban melalui berbagai saluran yang dapat diakses, termasuk call center nasional dan layanan WhatsApp selama periode 2017 hingga Maret 2025,” ungkapnya.
Rinardi menyampaikan pemerintah berkomitmen membangun database terpusat dan komprehensif.
Baca Juga: RI Klaim Cegah 5.913 Upaya Migrasi Ilegal Di Tengah Ancaman Cyber Trafficking
“Kami mengakui kesenjangan kritis dalam sistem data kami, khususnya kurangnya data terpilah spesifik tentang pekerja migran tidak berdokumen dan keluarga mereka yang telah dideportasi, serta tentang anak-anak migran tanpa pendamping. Kami berkomitmen untuk membangun database terpusat dan komprehensif yang melacak semua aspek Konvensi,” jelasnya.
Data yang disampaikan kepada Komite menunjukkan 82,6 persen pekerja migran Indonesia adalah non-imigran, dan persentase yang sama dari pekerja migran Indonesia yang mencari bantuan adalah migran tidak teratur.
“Meskipun jalur reguler tetap penting untuk memastikan migrasi yang aman dan teratur, pemerintah memastikan bahwa semua pekerja migran akan menerima pelindungan tanpa diskriminasi. Kami sedang meninjau secara kritis pendekatan kami terhadap migrasi tidak teratur, termasuk ketentuan UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi,” papar Rinardi.
Indonesia bekerja sama dengan otoritas lokal di Sabah dan Sarawak, Malaysia untuk memastikan akses pendidikan anak-anak pekerja migran, termasuk dukungan untuk mendapatkan dokumentasi tempat tinggal, izin untuk guru, menyediakan beasiswa dan mendirikan sekolah Indonesia.
“Per 2025, dilaporkan ada 275 CLC yang beroperasi di wilayah Sabah dan Sarawak, Malaysia, melayani 27.197 siswa. Ini memastikan bahwa hak-hak anak dihormati dan bahwa mereka memiliki akses ke pendidikan dan juga meningkatkan peluang masa depan mereka,” jelas Rinardi.
Untuk kepulangan dan reintegrasi, Indonesia menyediakan verifikasi identitas, bantuan transportasi, dukungan psikososial, konseling keluarga dan akses ke program pemberdayaan ekonomi untuk pekerja migran yang kembali.
“Reintegrasi dipandang bukan sebagai peristiwa tunggal, tetapi sebagai proses jangka panjang yang memerlukan dukungan berkelanjutan. Kami sekarang fokus pada mengukur kesuksesan jangka panjang reintegrasi melalui data tentang penghidupan berkelanjutan dan kesejahteraan migran yang kembali,” pungkasnya.
Sementara itu, anggota Human Rights Working Group (HRWG) Ariela Naomi Syifa yang menghadiri public meeting komite mengungkapkan shadow report atau alternative report yang disampaikan masyarakat sipil mengisi kekosongan data yang tidak dimiliki pemerintah.
Dalam diskusi publik di Hotel Alana Surakarta, Selasa (2/12/2025), Syifa menekankan pentingnya laporan independen dari masyarakat sipil.
“Data-data yang teman-teman miliki ini adalah data-data yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Ini adalah data dari lapangan. Sehingga ketika kita melaporkan, kita mesti ingat komite itu anggota 14 bersifat independen dan hanya satu yang dari Asia,” katanya.
Syifa menambahkan laporan dari masyarakat sipil mencakup isu-isu yang jarang mendapat perhatian pemerintah seperti pekerja migran dengan disabilitas, pekerja di wilayah konflik, pekerja musiman, hingga stateless person.
“Data terpilah gender saja kadang-kadang tidak ada, apalagi data misalnya pekerja migran kita dengan disabilitas. Pekerja di wilayah konflik juga karena banyak pekerja migran kita masih ditempatkan di wilayah konflik di Libya, di Syria, di Irak. Ini semua menunjukkan bahwa pemerintah masih sangat lemah dalam menyediakan data terpilah yang komprehensif,” ungkapnya.
Syifa menekankan ketiadaan data terpilah membuat pemerintah kesulitan merancang kebijakan pelindungan yang tepat sasaran.
“Justru karena itulah peran penting dari organisasi masyarakat sipil adalah membuat laporan menjadi lebih seimbang. Kalau semua yang didengar dari pemerintah, ya memang posisinya begitu, pasti akan melaporkan yang baik-baik. Adalah tugas kita untuk membuat laporan itu menjadi lebih seimbang sehingga komite punya informasi yang balance,” pungkasnya.

