VOICEINDONESIA.CO, Jenewa – Direktur Hak Asasi Manusia dan Urusan Migrasi Kementerian Luar Negeri, Indah Nuria Savitri, mengungkapkan mayoritas Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang meminta bantuan pemerintah adalah mereka yang berangkat melalui jalur tidak prosedural dan menghadapi risiko eksploitasi yang jauh lebih tinggi.
Hal ini disampaikan dalam Sidang Komite Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran melalui sidang PBB di Jenewa, Rabu (3/12/2025). Menurutnya, angka ini menggarisbawahi urgensi perlindungan tanpa diskriminasi status migrasi.
“Data yang disampaikan kepada Komite menunjukkan bahwa 82,6 persen pekerja migran Indonesia adalah non-prosedural, dan 82,6 persen pekerja migran Indonesia yang mencari bantuan adalah migran tidak teratur,” ungkap Indah di hadapan komite internasional.
Baca Juga: Naik Dua Kali Lipat, Pemerintah Gelontorkan Rp687 Miliar untuk Perlindungan PMI
Ia mengatakan, situasi ini mencerminkan berbagai risiko serius yang dihadapi para pekerja migran tidak berdokumen. Mereka menjadi sangat rentan terhadap berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
“Ini menggarisbawahi risiko serius seperti perlakuan tidak adil, kekerasan, kondisi kerja buruk, eksploitasi dan perdagangan manusia, dan kebutuhan akan langkah-langkah komprehensif,” tegas Indah.
Baca Juga: RI Ajak Kerja Sama Global Berantas Sindikat Kejahatan Transnasional
Meski jalur reguler tetap menjadi prioritas utama untuk memastikan migrasi aman dan teratur, pemerintah menegaskan komitmennya untuk tidak membeda-bedakan dalam memberikan perlindungan. Semua WNI berhak mendapat perlindungan negara.
“Sementara jalur reguler tetap esensial untuk memastikan migrasi aman dan teratur, pemerintah memastikan bahwa semua pekerja migran akan menerima perlindungan tanpa diskriminasi,” jelas Indah.
Prinsip non-diskriminasi dalam perlindungan warga negara menjadi fondasi kebijakan pemerintah Indonesia. Status migrasi tidak menghilangkan hak seseorang untuk mendapat perlindungan dari negaranya.
“Warga negara Indonesia menerima perlindungan negara terlepas dari status migrasi mereka, dan pekerja migran asing di Indonesia dilindungi sesuai dengan peraturan nasional yang menjunjung tinggi hak-hak mereka,” ungkap Indah dengan tegas.
Direktur Jenderal Pelindungan KP2MI, Rinardi Rusman, menjelaskan mekanisme penanganan pengaduan yang responsif dan berbasis teknologi dalam sidang yang sama. Setiap pengaduan yang masuk mencerminkan kepercayaan publik kepada negara yang harus dijaga dengan sistem yang transparan.
“Setiap pengaduan yang disampaikan oleh calon pekerja migran Indonesia atau pekerja migran Indonesia mencerminkan kepercayaan publik kepada negara. Ini adalah hal yang harus kita garis bawahi,” ungkap Rinardi.
Sistem penanganan pengaduan dirancang untuk memberikan respon cepat dan dapat dilacak oleh pelapor. Transparansi menjadi kunci membangun kepercayaan publik.
“Untuk menjunjung tinggi kepercayaan ini, pemerintah menyediakan mekanisme penanganan pengaduan yang cepat, transparan dan mudah diakses melalui layanan tatap muka maupun saluran non-tatap muka seperti yang mayoritas kita gunakan saat ini menggunakan WhatsApp, media sosial, tentu saja, dan platform resmi lainnya,” jelas Rinardi.
Proses penanganan pengaduan dilakukan dengan sangat cepat sejak laporan diterima. Sistem memberikan nomor pelacakan unik kepada setiap pelapor untuk monitoring progress penanganan.
“Begitu laporan diterima, petugas segera melakukan identifikasi dan penilaian awal. Dalam satu hari, kami menjanjikan satu hari, pengadu menerima nomor kasus, nomor unik yang dapat mereka lacak nomornya seperti kita memesan sesuatu secara online dan kemudian kita memiliki nomor pelacakan,” tegas Rinardi.
Pemerintah memberikan waktu yang cukup bagi pelapor untuk melengkapi dokumen pendukung tanpa tekanan. Pemahaman terhadap kondisi korban menjadi pertimbangan utama.
“Dan kita dapat menggunakan nomor itu untuk melacak bagaimana progres laporannya. Ini memastikan bahwa setiap pekerja migran menyelesaikan hingga 30 hari. Jadi kita tidak harus mendorong mereka untuk menyelesaikan dalam satu hari. Kita harus memahami bahwa mereka harus menyiapkan semua perlengkapan seperti paspor, dan lain-lain. Jadi kami memberi mereka setidaknya 30 hari untuk melengkapi mereka,” jelas Rinardi.
Layanan perlindungan diberikan tanpa membedakan status migrasi pekerja. Data lapangan menunjukkan mayoritas yang meminta bantuan justru mereka yang berangkat tidak prosedural.
“Semua layanan diberikan tanpa membedakan status pekerja migran, baik mereka reguler atau apakah mereka juga reguler atau tidak teratur. Data menunjukkan bahwa 82,6 persen bantuan menyangkut pekerja migran non prosedural yang menggarisbawahi bahwa perlindungan pemerintah tidak terbatas pada mereka,” pungkas Rinardi.
Kementerian Hukum dan HAM juga meningkatkan akses terhadap pemulihan dengan menyediakan layanan pengaduan hak asasi manusia. Kementerian telah mendirikan 33 pos pengaduan di kantor regional dan unit pelaksana teknis serta berkolaborasi dengan fasilitas sosial dan publik lainnya. Dari mekanisme ini, sejak 2020 hingga 2024, layanan pengaduan hak asasi manusia menerima sekitar 4.604 pengaduan melalui platform online atau langsung di pos pengaduan. Dari total pengaduan yang diterima, 11 terkait dengan hak pekerja migran.

