VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) kini menjelma menjadi ancaman serius dengan wajah baru yang lebih canggih dan terselubung. Pelaku memanfaatkan teknologi digital dan celah sistem untuk menjerat korban, bahkan mereka yang berpendidikan tinggi sekalipun tidak luput dari jebakan sindikat perdagangan manusia modern ini.
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan perlunya penguatan strategi pencegahan TPPO melalui implementasi kebijakan perlindungan warga negara yang lebih masif. Menurutnya, berbagai kasus perdagangan manusia yang terus terjadi merupakan bentuk pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa Indonesia sebagai negara beradab.
“Berbagai kasus perdagangan manusia yang terjadi saat ini adalah pengkhianatan cita-cita bangsa Indonesia,” tegas Lestari saat membuka diskusi daring bertema TPPO 2025: Wajah Baru Perbudakan Modern terhadap Perempuan & Anak yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu (03/12/2025).
Baca Juga: Dari Ribuan Pendaftar Hanya 21 Peserta Bisa Lolos Jadi Pengasuh Lansia di Singapura
Rerie, sapaan akrab Lestari yang juga anggota Komisi X DPR RI, menyoroti fakta mengejutkan bahwa meski negara telah melakukan berbagai upaya pencegahan, praktik kerja paksa dan perbudakan modern masih berlangsung di depan mata. Yang lebih mengkhawatirkan, modus TPPO kini semakin canggih seiring pesatnya perkembangan teknologi digital.
Direktur Jenderal Perlindungan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Rinardi mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa korban TPPO yang diberangkatkan secara ilegal justru berpendidikan D3 ke atas. Tingginya tingkat pendidikan korban menunjukkan bahwa siapa pun bisa terjerat jika tidak waspada terhadap modus pelaku.
Baca Juga: Terungkap! 82,6 Persen PMI Minta Bantuan Ternyata Berangkat Lewat Jalur Ilegal
Rinardi mengidentifikasi beberapa modus operandi yang sering digunakan pelaku TPPO. Rekrutmen melalui media sosial menjadi jalan utama pelaku menjerat calon korban. Selain itu, lembaga pelatihan kerja yang berperan ganda dengan melatih sekaligus menempatkan pekerja ke negara tujuan juga menjadi celah yang dimanfaatkan sindikat.
“Ini melanggar aturan,” ungkap Rinardi.
Penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) secara nonprosedural masih marak terjadi dan menjadi pintu masuk perdagangan orang. Rinardi mencontohkan penempatan PMI di Jepang dan Kamboja yang sering dibungkus dengan program magang di perusahaan, padahal sebenarnya melanggar prosedur ketenagakerjaan yang berlaku.
Kerentanan Ekonomi dan Literasi Digital Rendah
Kerentanan ekonomi dan rendahnya literasi digital menjadi faktor utama yang membuat masyarakat mudah terjebak jaringan TPPO. Keterbatasan pemahaman tentang cara kerja media sosial dan pola rekrutmen ilegal membuat calon korban tidak mampu mengidentifikasi bahaya yang mengintai di balik tawaran pekerjaan menggiurkan.
Ketua Harian Jaringan Nasional Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (Jarnas Anti TPPO) Romo Paschal menegaskan pelaku TPPO terus berinovasi dengan mengubah modus dan memanfaatkan celah sistem yang ada. Pola rekrutmen melalui digital, agensi ilegal, hingga melibatkan keluarga atau komunitas menjadi strategi baru yang sulit terdeteksi.
Paschal mengungkapkan kelemahan sistem pencegahan yang ada saat ini. Negara belum memiliki mekanisme pemantauan waktu nyata (real time monitoring) terkait kasus-kasus TPPO melalui platform digital. Pengawasan terhadap agensi tenaga kerja juga masih lemah dengan verifikasi dokumen yang hanya bersifat formalitas.
Eksploitasi Fisik hingga Digital
Analis Kebijakan Madya Bidang Pid PPA-PPO Bareskrim Polri Kombes Pol. Tunggul Sinatrio mengungkapkan TPPO telah berevolusi menjadi perbudakan modern dengan memanfaatkan piranti digital. Korban tidak hanya dieksploitasi secara fisik, tetapi juga secara digital dengan memanfaatkan data dan identitas mereka untuk kejahatan lain.
Tunggul menjelaskan pelaku TPPO memanfaatkan semua jalur perjalanan ke luar negeri melalui darat, laut, dan udara. Sindikat lintas negara ini beroperasi dengan jangkauan luas dan korban yang tersebar di berbagai negara, dengan perempuan dan anak sebagai target utama.
Upaya pencegahan TPPO membutuhkan pendekatan komprehensif yang menyentuh akar permasalahan. Paschal menilai program pencegahan yang dilakukan selama ini belum menyentuh struktur sosial akar rumput, sehingga tidak efektif memutus rantai kejahatan perdagangan manusia.
**Urgensi Aturan Baru dan Pemberantasan Sindikat**
Tim Pengawas DPR RI Terhadap Perlindungan PMI Nurhadi menekankan perlunya aturan perundangan baru yang mampu menjawab ancaman TPPO yang semakin kompleks. Kejahatan kemanusiaan ini bergerak sangat cepat dengan memanfaatkan celah hukum yang ada, sehingga membutuhkan instrumen hukum yang lebih adaptif.
Wartawan senior Saur Hutabarat menyoroti inkonsistensi penanganan kasus TPPO. Berbagai media memberitakan penangkapan sindikat pelaku TPPO, namun korban perdagangan orang di Kamboja justru terus meningkat. Hal ini menunjukkan jaringan sindikat belum benar-benar dibongkar secara tuntas.
“Kalau sindikasinya tidak dihabisi di satu pihak dan di lain pihak lapangan kerja langka, korban akan terus berjatuhan,” tegas Saur.
Tunggul mengusulkan pembentukan lembaga vokasi migran sebagai strategi pencegahan jangka panjang. Lembaga ini diharapkan mampu membekali calon pekerja migran dengan keterampilan dan pengetahuan yang memadai, sekaligus memberikan pemahaman tentang prosedur ketenagakerjaan yang benar dan modus-modus TPPO yang harus diwaspadai.

