VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Anggota Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Totok Hedi Santosa, menyoroti ketidaksinkronan kebijakan ketenagakerjaan nasional, terutama terkait relasi antara upah dan tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia menilai bahwa dalil yang selama ini digunakan sebagian kalangan untuk menekan besaran upah buruh tidak selaras dengan fakta di lapangan.
“Jadi ada satu statement dan data yang penting bagi saya bahwa upah tinggi tidak berkorelasi langsung dengan PHK atau pindah PHK. Karena (pihak penyampai aspirasi) memberikan contoh konkret, Jawa Tengah itu upahnya rendah, tetapi PHK-nya justru (tetap) tinggi,” ujar Totok dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Gerakan Serikat Pekerja Jawa Timur (GASPER) di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (04/12/2025).
Menurut Totok, kondisi itu justru menunjukkan bahwa alasan pengusaha menekan upah buruh lebih murah tidak memiliki dasar kuat. Ia menilai persoalan ketenagakerjaan selama ini selalu terjebak pada pertanyaan mendasar, apakah negara berpihak pada buruh atau kepada industri demi mengejar pertumbuhan ekonomi.
“Yang saya lihat, negara masih belum jelas berpihak pada siapa. Apakah pada rakyat dalam pengertian buruh, atau pada industri yang dikejar demi pertumbuhan ekonomi, meski dengan mengorbankan kesejahteraan,” ucap Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Selain itu, Totok juga menyinggung adanya tumpang tindih regulasi yang menghambat keadilan perburuhan. Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), hingga peraturan menteri yang dinilai sering bertabrakan dan menghambat upaya pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan lebih baik kepada pekerja.
Menurutnya, persoalan tersebut tidak bisa diselesaikan secara parsial.
“Kami akan mengkaji lebih lanjut dan menjadikan ini agenda penting BAM, meski distribusinya nanti harus ke Baleg atau komisi-komisi terkait,” jelas Anggota Komisi VI DPR RI ini.
Tak hanya itu, Totok juga mempertanyakan arah kebijakan otonomi daerah dalam konteks perburuhan, di tengah kecenderungan sentralisasi kewenangan pemerintah pusat.
“Kita ini masih mau menjalankan otonomi, atau semua ditarik ke pusat? Ini peta persoalan yang perlu kami lihat sebelum menentukan solusi,” tutup Totok.
Dalam hasil RDPU tersebut akan dirumuskan BAM sebagai rekomendasi kebijakan kepada alat kelengkapan dewan terkait untuk memperkuat tata kelola ketenagakerjaan di Indonesia.

