VOICEINDONESIA.CO, Jenewa – Komite Perlindungan Hak Pekerja Migran PBB (CMW) mengungkap ribuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terjebak dalam sindikat penipuan online di kawasan Asia Tenggara. Prasad Kariyawasam, Ahli Komite sekaligus Co-Rapporteur, mendesak Indonesia menjelaskan langkah konkret menyelamatkan korban yang dipaksa bekerja dalam operasi kejahatan siber tersebut.
Pertemuan evaluasi implementasi Konvensi Internasional Perlindungan Hak Pekerja Migran ini justru membongkar sisi gelap migrasi pekerja Indonesia. Meski memuji undang-undang hak pilih pekerja migran di luar negeri, Komite menyoroti tajam keterlibatan masif aktor swasta dalam perekrutan yang memicu praktik tidak etis.
“Masih terdapat tingkat tinggi keterlibatan aktor swasta dalam perekrutan pekerja migran,” ujar Jasminka Dzumhur, Ahli Komite dan Co-Rapporteur lainnya pada Rabu (3/12/2025).
Baca Juga: Naik Dua Kali Lipat, Pemerintah Gelontorkan Rp687 Miliar untuk Perlindungan PMI
Selain itu, ia mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia untuk mencegah perekrutan tidak etis yang terus memakan korban. Kariyawasam menyoroti fenomena memilukan pekerja migran yang dipaksa bekerja dalam operasi penipuan online di beberapa negara Asia.
1.324 Korban PMI Dipulangkan dari Tiga Negara
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perlindungan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), Rinardi Rusman membantah pemerintah diam. Tim Respon Siber-Perdagangan Orang telah bergerak sejak 2024, mengidentifikasi dan memulangkan 1.324 korban dari Kamboja, Myanmar, dan Laos. Angka ini membuktikan skala masalah yang jauh lebih besar dari perkiraan.
“Indonesia telah membuat kemajuan signifikan dalam menyelaraskan kerangka nasional dengan prinsip-prinsip Konvensi,” tegasnya.
Baca Juga: Di Sidang PBB, Pemerintah Klaim Anggaran Pelindungan PMI Melonjak 164 Persen
Dia memaparkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang perlindungan pekerja migran sebagai tonggak penting. Pendekatan komprehensif mencakup perlindungan mulai pra-keberangkatan, selama bekerja di luar negeri, hingga pasca-kembali dan reintegrasi. Sistem terintegrasi pengawasan pemerintah bahkan berhasil menggagalkan 5.913 individu yang berusaha migrasi melalui saluran tidak resmi pada 2025 saja.
Pemerintah mengklaim telah memantau aktivitas agen perekrutan terhadap kejahatan seperti penempatan ilegal dan pemalsuan dokumen migrasi. Sanksi dijatuhkan kepada sembilan biro penempatan dan dua dicabut izinnya. Dari sanksi tersebut, pemerintah memulihkan lebih dari dua miliar rupiah, berdasarkan rilis resmi yang disampaikan delegasi.
Layanan Konsuler Diperluas
Dalam setahun terakhir, Indonesia meluncurkan regulasi sistem pengumpulan data untuk pekerja migran di luar negeri, termasuk migran tidak resmi agar dapat terdaftar dan diverifikasi di misi Indonesia. Langkah ini memberi mereka akses layanan dasar dan memungkinkan transisi ke status resmi.
Pemerintah memperluas pelayanan konsuler dengan konsular gratis terkait registrasi sipil serta platform pendaftaran kelahiran di luar negeri. Dari Januari sampai November 2025, sekitar 12.500 akta kelahiran telah diterbitkan oleh perwakilan luar negeri, menurut data resmi yang dibacakan delegasi.
Komitmen terhadap keadilan ditunjukkan melalui mekanisme pengaduan yang menangani 81% dari 20.675 pengaduan sejak 2017 hingga Maret 2025. Saluran aksesibel seperti call centre nasional dan layanan WhatsApp menjadi garda terdepan. Pekerja migran yang pulang mendapat bantuan verifikasi identitas, transportasi, dukungan psikososial, hingga subsidi perumahan dengan fokus reintegrasi berkelanjutan.
Indonesia bahkan mendirikan sekolah dan pusat belajar komunitas untuk anak-anak pekerja migran di luar negeri. Untuk anak yang tetap di Indonesia sementara orang tua bekerja di luar negeri, pemerintah mendukung melalui keluarga angkat atau program sosial formal dengan pengawasan kesejahteraan rutin.
Perlindungan terhadap pekerja migran perempuan diperkuat melalui kerangka sensitif gender. Pelatihan pra-kerja mencakup konten gender dan keselamatan, chatbot ramah perempuan untuk nasihat, serta pusat sumber daya yang menyediakan bantuan hukum dan psikososial bagi korban kekerasan berbasis gender.
Namun Komite tidak berhenti menggali. Mereka mendesak penjelasan lebih lanjut: apakah Indonesia kini menjadi negara transit atau tujuan buruh migran? Bagaimana dengan perjanjian bilateral dengan negara tujuan? Pertanyaan tajam lain menyasar akses pekerja migran ke keadilan, terutama mereka yang bekerja di sektor informal atau korban penipuan online, eksploitasi, dan perdagangan manusia.
Para ahli juga mempertanyakan nasib pekerja migran di negara dengan sistem kafala atau yang terancam hukuman mati. Perlindungan pekerja di sektor perikanan, migran tanpa status resmi, dan pekerja rumah tangga masih menjadi tanda tanya besar. Efektivitas sistem data migran, inspeksi ketenagakerjaan, dan pengaduan pun dipertanyakan komprehensivitasnya.
Komite menunjukkan Indonesia memang membuat kemajuan nyata membangun kerangka hukum dan institusional melindungi pekerja migran. Undang-undang nasional, sistem perekrutan terkontrol, peningkatan layanan konsuler, serta mekanisme pengaduan dan dukungan pasca-kembali adalah langkah konkret yang tak bisa diabaikan.
Tapi kendala struktural masih menganga lebar. Keterlibatan swasta dalam perekrutan, kerentanan pekerja terhadap penipuan online, koordinasi kelembagaan, dan tantangan memastikan akses keadilan bagi migran informal atau korban eksploitasi masih menjadi pekerjaan rumah besar. Para ahli mendesak Indonesia terus memperkuat implementasi dan memperluas perlindungan sebagai contoh bagi negara lain.

