VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Anggota Human Rights Working Group, Ariela N. Syifa, mengungkapkan bahwa Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa, Swiss, beberapa waktu lalu, mempertanyakan sejumlah isu krusial kepada delegasi Indonesia.
Menurutnya Komite PBB menemukan praktik rekrutmen tidak etis yang masih merajalela dalam penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
“Komite mengatakan bahwa ada beberapa hal yang cukup major dan concern seperti isu online scamming, isu koordinasi antar lembaga di berbagai level, layanan pengaduan yang belum efektif dan efisien, isu pemagangan sebagai pekerja migran, isu tragedi kebakaran di Hongkong, dan lain-lain,” ungkapnya dalam konferensi pers Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI di Sekretariat AJI, Jakarta Pusat, Jumat (05/12/2025).
Baca Juga: Kegagalan Sistem Dokumen Pekerja Migran Terbongkar Gara-gara Kebakaran Hong Kong
Syifa menegaskan bahwa laporan masyarakat sipil menyoroti kurangnya partisipasi bermakna dalam proses revisi UU P2MI. Proses revisi yang lambat dan tertutup membuat informasi sulit dipahami dan dijalankan bersama.
“Kami menyampaikan dalam laporan, terkait kurangnya ruang partisipasi dari masyarakat sipil dalam proses revisi tersebut, juga kekhawatiran kami akan lemahnya koordinasi antar lembaga di berbagai level terkait perlindungan PMI,” tegasnya.
Baca Juga: Di Sidang PBB, Pemerintah Klaim Anggaran Pelindungan PMI Melonjak 164 Persen
Syifa menjelaskan salah satu anggota Komite PBB, His Excellency Prasad Karyawasam yang sekaligus menjadi pelapor untuk Indonesia, meminta klarifikasi mengenai sejauh mana koordinasi revisi UU Nomor 18 Tahun 2017 dan apakah telah memenuhi standar perlindungan sebagaimana diatur dalam konvensi internasional.
“Namun, hingga sesi selesai, respons pemerintah terkait kecukupan ketentuan dalam UU tersebut belum disampaikan secara komprehensif,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengonfirmasi temuan komite tersebut. Ia menilai masih tingginya peran swasta dalam rekrutmen menjadi perhatian khusus komite.
“Komite punya concern misalnya soal masih tingginya peran dari rekrutmen, bahkan komite juga punya perhatian khusus mengenai proses rekrutmen yang unethical,” katanya.
Wahyu menilai respons pemerintah Indonesia dalam dialog konstruktif tersebut sangat mengecewakan. Delegasi Indonesia hanya menjawab pertanyaan secara terbatas tanpa melihat gambaran besar permasalahan.
“Pembacaan saya secara singkat adalah bahwa delegasi Indonesia menggunakan kacamata kuda ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Komite,” kritiknya.
Wahyu menambahkan bahwa pemerintah Indonesia tidak siap menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dari komite. Jawaban yang diberikan cenderung normatif dan tidak menyentuh aspek interseksional.
“Jawaban pemerintah, catatan saya jawabannya adalah biasanya normatif, prosedural, dan sangat apologis. Dan tidak melihat pada aspek-aspek interseksional,” pungkasnya.
Peneliti dari Universitas Mataram, Pamungkas Ayudhaning Dewanto, menyoroti lemahnya perlindungan pekerja migran di negara penempatan. Gelombang xenofobia di negara-negara tujuan penempatan semakin menguat namun pemerintah tidak mengantisipasinya.
“Pemerintah harus segera memperkuat dukungan-dukungan mereka yang ada di negara penempatan karena saat ini terjadi gelombang xenofobia yang sangat besar di luar negeri, di tempat-tempat penempatan PMI,” paparnya.
Aktivis Solidaritas Perempuan, Novia Sari, mengungkapkan bahwa jaringan advokasi kesulitan mendapatkan akses terhadap daftar inventaris masalah revisi UU PPMI. Proses revisi yang tertutup menghambat partisipasi masyarakat sipil.
“Daftar inventaris masalah pemerintah sampai sekarang belum dibuka ke publik. Revisi UU PPMI yang dibuat oleh DPR itu sangat susah untuk kami mendapatkan,” keluhnya.

