VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Draf revisi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) menyembunyikan ancaman serius bagi pekerja migran. Pemagangan yang seharusnya bukan kategori pekerja migran justru dimasukkan dalam pasal kerja dalam waktu tertentu, membuka celah eksploitasi berlapis.
Aktivis Solidaritas Perempuan, Novia Sari, membongkar modus dalam draf revisi yang dibuat DPR. Pemagangan dimasukkan dalam Pasal 4 ayat 1 tentang kerja dalam waktu tertentu dengan penjelasan yang ambigu.
“Di salah satu versi undang-undang yang dibuat oleh DPR ada mereka menjelaskan di pasal 4 ayat 1 terkait kerja dalam waktu tertentu dan penjelasannya itu pemagangan,” ungkapnya pada Konferensi Pers di Sekretariat AJI, Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Baca Juga: Ini Sejumlah Masalah Perlindungan PMI yang Disorot PBB
Novia mempertanyakan niat di balik penyisipan pemagangan dalam kategori pekerja migran. Padahal, hakikat pemagangan dan pekerjaan sangat berbeda, begitu pula dengan hak-hak yang melekat.
“Kenapa harus pemagangan? Padahal kita tahu semua pemagangan dan pekerjaan itu berbeda. Haknya juga berbeda. Ketika orang magang, tapi dia melakukan pekerjaan-pekerjaan, dia akan mengalami eksploitasi, kekerasan bahkan perdagangan orang,” tegasnya.
Baca Juga: PBB Soroti Ribuan PMI Terjebak Sindikat Penipuan Online di Asia Tenggara, Ini Tanggapan Pemerintah
Novia menilai DPR menciptakan kontradiksi dalam regulasi. Di satu sisi UU Ketenagakerjaan 2003 menyatakan pemagangan bukan pekerja migran, namun revisi UU PPMI justru memasukkannya sebagai pekerja migran.
“Ini sedikit aneh di pemerintah DPR ketika undang-undang tahun 2003 menyatakan itu bukan pekerja migran, tapi DPR justru memperluas bahwa pemagangan itu pekerja migran. Ini perlu diperjelas sama mereka yang menuliskan undang-undang ini apa tujuannya, apa maksudnya,” kritiknya.
Novia mendesak jaringan advokasi tetap memperjuangkan perlindungan bagi semua pekerja migran terlepas dari status migrasinya.
“Kita tetap ingin orang-orang yang bekerja sebagai pekerja migran itu terlindungi dengan semua status migrasinya,” pungkasnya.
Peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative, Tasya Nur Ramadhani, menambahkan bahwa kategorisasi ini bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dalam konferensi pers yang digelar Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI. UU Nomor 13 Tahun 2003 secara tegas menyatakan pelajar dan peserta pelatihan yang dapat dimaknai sebagai pemagangan tidak termasuk dalam pekerja migran.
“Dalam undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003 dibilang pelajar dan peserta pelatihan yang dapat dimaknai sebagai pemagangan tidak termasuk dalam pekerja migran,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai pemerintah gagal memahami standar internasional. Komite Pekerja Migran PBB dalam sidang ke-41 mempertanyakan mengapa Indonesia belum meratifikasi konvensi ILO yang penting seperti C188, C189, dan C190.
“Butuhnya konvensi itu juga untuk memastikan ini menjadi bridge, menjadi alat untuk kalau istilahnya Mas Pamungkas itu transnasionalisasi upaya-upaya perlindungan,” paparnya.
Peneliti dari Universitas Mataram, Pamungkas Ayudhaning Dewanto, menyayangkan kualitas draf yang dimiliki DPR. Terminologi-terminologi yang digunakan sangat keliru dan berpotensi merugikan pekerja migran.
“Saya sangat prihatin dengan kualitas draft yang dimiliki oleh DPR RI karena terminologi-terminologi yang saya pikir sangat keliru. Jadi misalnya seperti pemagangan, ini sangat tertolak di luar negeri dengan berbagai macam kategorisasi-kategorisasi yang dibuat memang untuk membatasi mereka,” jelasnya.

