VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Rencana pemerintah memberikan pengampunan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) menuai kritik. Kebijakan yang tercantum dalam draf revisi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) dinilai justru menambah stigma bahwa pekerja migran adalah pelaku kesalahan yang perlu diampuni.
Aktivis Solidaritas Perempuan, Novia Sari, menyatakan pekerja migran justru menjadi korban sistem yang gagal melindungi, bukan pelaku yang harus meminta ampun.
“Ada lagi nih, rencana undang-undang yang memberikan pengampunan. Pengampunan ini sebenarnya apa? Memang PMI ini salah dimana? Memang PMI ini telah melakukan kesalahan sehingga harus diampunkan, harus diberi pengampunan oleh siapa?” kritiknya dalam Konferensi Pers di Sekretariat AJI, Jakarta, Jumat (05/12/2025).
Baca Juga: Akal-Akalan Revisi UU P2MI, Pemagangan Masuk Kategori PMI
Novia menegaskan yang seharusnya dikuatkan adalah kebijakan berbasis hak asasi manusia dan kebijakan yang memang melindungi. Bukan seolah-olah memberikan stigma bahwa negara yang membuat pekerja migran tidak terlindungi.
“Seharusnya yang dikuatkan adalah kebijakan berdasarkan hak, dan kebijakan yang memang melindungi. Bukan seolah-olah dengan stigma, ini negara lagi lho yang membuat PMI kita tidak terlindungi. Jangan lagi lho negara yang membuat PMI kita tidak terlindungi. Karena negara sendiri melalui usulan kebijakan yang memberikan stigma itu,” tegasnya.
Baca Juga: PBB Soroti Ribuan PMI Terjebak Sindikat Penipuan Online di Asia Tenggara, Ini Tanggapan Pemerintah
Peneliti dari Indonesia Ocean Justice Initiative, Tasya Nur Ramadhani, menambahkan bahwa konsep regularisasi yang berbasis HAM seharusnya menjadi pendekatan. Pekerja migran dalam situasi ireguler harus difasilitasi untuk menjadi reguler dan mendapatkan perlindungan HAM yang sama.
“Kami mengusulkan konsep regularisasi yang berbasis HAM, yaitu pekerja migran difasilitasi untuk menjadi reguler dan mendapatkan perlindungan HAM yang sama, baik berdasarkan konvensi maupun peraturan nasional,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai pemerintah tidak memahami bahwa ireguleritas seringkali terjadi di luar negeri bukan di dalam negeri. Pekerja migran menjadi korban perubahan keputusan bisnis yang merugikan.
“Proses irregularisasi sebagian besar terjadi di luar negeri. Kadang-kadang pekerja kita berangkat secara reguler, sampai disana terjadi perubahan business decision, perubahan keputusan bisnis yang mengakibatkan kerugian itu dilimpahkan kepada pekerja,” paparnya.
Ketua KABAR BUMI, Karsiwen, mengungkapkan pengalaman pekerja rumah tangga migran yang menjadi korban moratorium Arab Saudi. Kebijakan tersebut justru menyebabkan banyaknya korban perdagangan manusia.
“Seperti pasal 8 tentang hak untuk bekerja, tetapi Indonesia juga melakukan moratorium ke Arab Saudi yang menyebabkan banyaknya korban perdagangan manusia,” kritiknya.
Ketua Umum SEBUMI-KSBSI, Yatini Sulistyowati, menambahkan bahwa stigma terhadap pekerja migran ireguler membuat mereka sulit mengakses jaminan sosial. Padahal mereka membayar premi yang sama dengan peserta lainnya.
“Ketika dia akhirnya kontrak kerjanya atau bekerja pada perusahaan lain itu tidak mampu untuk bisa mengklaim karena syaratnya adalah perjanjian kerja sesuai ketika pendaftaran. Padahal dia membayar hak yang sama dengan yang lain harusnya dia mendapatkan hak yang sama dong,” jelasnya.
Peneliti dari Universitas Mataram, Pamungkas Ayudhaning Dewanto, menyoroti kategorisasi yang melanggar konstitusi. Semua pekerja migran adalah WNI yang harus mendapatkan perlindungan yang sama.
“Beberapa terminologi seperti pengkategorisasian yang misalnya seperti hak-hak yang berbeda dari misalnya PMI perseorangan dan yang lain-lain itu sangat-sangat melanggar undang-undang dasar. Karena dari dalam ke luar itu semua WNI, jadi tidak perlu ada kategorisasi,” tegasnya.

