VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Revisi UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) mengulang kesalahan masa lalu dengan memperluas kewenangan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). Dominasi swasta dalam penempatan terbukti meningkatkan kekerasan terhadap pekerja migran, namun pemerintah tampak enggan belajar dari sejarah kelam UU 39 Tahun 2004.
Aktivis Solidaritas Perempuan, Novia Sari, mengungkapkan fakta mengejutkan dalam draf revisi UU PPMI saat konferensi pers di Sekretariat AJI, Jakarta Pusat, Jumat (05/12/2025). DPR justru memperluas kewenangan P3MI tanpa disertai pengawasan yang setara ketika mereka melanggar.
“Yang menariknya lagi, di dalam revisi undang-undang itu, DPR juga memperluas lagi kewenangan perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia yang tidak pernah belajar dari Undang-Undang 39,” ungkapnya.
Baca Juga: KP2MI Dinilai Lindungi P3MI Bermasalah, Sanksi Hanya Formalitas
Novia mengingatkan bahwa ketika dominasi perlindungan diberikan kepada swasta, yang terjadi adalah peningkatan kekerasan terhadap pekerja migran. Pengalaman UU 39 Tahun 2004 seharusnya menjadi pelajaran berharga.
“Ketika dominasi perlindungan itu diberikan ke swasta, yang terjadi adalah peningkatan kekerasan terhadap pekerja migran kita baik di sektor domestik, di sektor lainnya, apalagi sekarang perkembangan jenis-jenis pekerja migran begitu banyak,” tegasnya.
Baca Juga: Terancam! Perlindungan Pembela HAM Pekerja Migran Tak Masuk Dalam RUU P2MI
Novia mempertanyakan niat pemerintah yang seolah-olah ingin melepaskan tanggung jawab perlindungan. Padahal UU 18 Tahun 2017 secara jelas menyatakan tanggung jawab perlindungan ada di negara.
“Ini kenapa di revisi undang-undang, negara seolah-olah ingin lepas tanggung jawab perlindungan. Undang-Undang 18 tahun 2017 menyatakan tanggung jawab perlindungan itu ada di negara,” katanya.
Novia menegaskan jaringan advokasi mengusulkan penghapusan pasal 63 yang membatasi hak pekerja migran perseorangan. Negara harus bertanggung jawab penuh terhadap perlindungan pekerja migran.
“Kami jaringan juga mengusulkan untuk menghapus pasal 63 dan meminta agar PMI perseorangan dapat bekerja pada pemberi kerja baik badan hukum maupun perseorangan. PMI perseorangan tetap berhak mendapatkan perlindungan dalam setiap tahapan migrasinya,” pungkasnya.
Ketua KABAR BUMI, Karsiwen, mengonfirmasi praktik bisnis perdagangan manusia yang dilindungi negara. Mayoritas pekerja migran Indonesia yang 70 persen bekerja sebagai pekerja rumah tangga menjadi korban sistem ini.
“Kalau saya bisa mengatakan secara kasar, ini sebenarnya bisnis perdagangan manusia yang dilindungi oleh negara. Karena bisnis pengiriman pekerja migran Indonesia, terbesar porsinya masih diberikan oleh agensi,” kritiknya.
Ketua Umum SEBUMI-KSBSI, Yatini Sulistyowati, mengungkapkan bahwa negara hanya mementingkan remitansi tanpa memikirkan perlindungan. Target remitansi 300 triliun rupiah pada 2025 tidak diimbangi dengan skema perlindungan sosial yang memadai.
“Pemerintah tahun ini atau KP2MI menargetkan di 2025 itu 300 triliun remitansi masuk di Indonesia. Ini sebenarnya sungguh target yang sangat luar biasa tetapi sayangnya itu tidak diikuti dengan skema perlindungan sosial kepada pekerja migran dan keluarganya,” paparnya.
Peneliti dari Universitas Mataram, Pamungkas Ayudhaning Dewanto, menegaskan pentingnya memahami perbedaan antara birokrasi penempatan dan perlindungan. Dalam konteks perlindungan, yang berlaku adalah status sebagai warga negara Indonesia.
“Birokrasi penempatan dan perlindungan itu dua hal yang sangat berbeda. Dalam konteks perlindungan, maka yang berlaku dalam pandangan saya adalah WNI, warga negara Indonesia. Itu mutlak,” tegasnya.

