VOICEINDONESIA.CO, Surakarta – Pengiriman 22 delegasi pemerintah Indonesia ke Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa menimbulkan pertanyaan kritis, terutama di tengah kebijakan efisiensi anggaran nasional yang sedang digalakkan.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, mempertanyakan rasionalitas dari pengiriman delegasi yang begitu besar untuk sebuah acara yang hanya berlangsung singkat. Masalah ini menjadi sorotan mengingat keluhan mengenai keterbatasan anggaran perlindungan pekerja migran yang sering disampaikan oleh berbagai lembaga terkait.
“Ini di masa efisiensi ini cukup enggak masuk akal enggak gitu di masa efisiensi ini hanya untuk hadir dua hari mengirimkan delegasi 22 orang,” ujar Wahyu dalam diskusi publik dan nonton bareng yang digelar di Hotel Alana Surakarta pada 2 Desember 2025.
Baca Juga: PBB Soroti Pekerja Indonesia Terjerat Online Scamming dan Forced Criminality
Wahyu menjelaskan bahwa delegasi tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, mencakup per diem, tiket pesawat, dan hotel. Ia menyayangkan ironi ini, mengingat lembaga seperti BP2MI atau KP2MI justru kerap mengeluhkan bahwa anggaran untuk perlindungan pekerja migran sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan di lapangan.
“Membutuhkan per diem yang membutuhkan tiket biaya hotel dan macem-macem sementara BP2B atau KP2B ngeluh bahwa anggaran untuk perlindungan mereka itu sangat terbatas,” tegasnya.
Baca Juga: UU PPMI Mandul, Perlindungan Pekerja Migran Terkikis Omnibus Law
Lebih lanjut, Wahyu memaparkan bahwa dari 22 delegasi yang diberangkatkan, hanya empat orang yang akan menetap di Jenewa untuk mengikuti sidang secara penuh yang berlangsung dari 1 hingga 3 Desember 2025. Sementara sisanya hanya hadir dalam waktu yang singkat, namun tetap menghabiskan anggaran negara yang cukup besar.
Di tempat yang sama, Akademisi UNIKA Atmajaya, Indri Saptaningrum, turut menyoroti pentingnya efektivitas delegasi dalam forum internasional semacam sidang komite pekerja migran. Menurutnya, engagement dengan komite seharusnya dilakukan secara lebih substantif, bukan sekadar kehadiran fisik yang tidak memberikan kontribusi maksimal.
“Mechanism treaty body itu bukan pertama-tama untuk naming and shaming, tetapi untuk secara konstruktif melakukan engagement dengan pemerintah sebagai pengembangan kewajiban,” kata Indri.
Indri menekankan bahwa yang jauh lebih penting adalah kualitas delegasi dalam penyampaian laporan dan kemampuan menjawab pertanyaan komite, bukan sekadar kuantitas jumlah delegasi yang dikirim. Ia menambahkan bahwa efektivitas biaya harus menjadi pertimbangan utama, terutama dalam kondisi anggaran yang terbatas seperti saat ini.

