VOICEINDOESIA.CO, Batam – Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Katolik Kementerian Agama RI menggandeng Gereja Katolik untuk mengambil langkah serius dalam menangani maraknya kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Menyadari bahwa TPPO merupakan bentuk perbudakan modern dan kejahatan transnasional terorganisasi (Transnational Organized Crime) yang serius melanggar hak asasi dan merampas martabat kemanusiaan, kedua belah pihak menggelar kegiatan di Batam pada tanggal 26 hingga 29 November 2025 untuk membahas pendekatan holistik dalam penanganan dan pencegahan kejahatan ini.
Saat membuka kegiatan, Dirjen Bimas Katolik, Suparman, menegaskan bahwa TPPO ini sangat berbahaya karena mencakup berbagai bentuk eksploitasi manusia hingga perbudakan. Ia mendorong seluruh pihak untuk bertindak dengan terarah.
“Kita harus tajam melihat apa yang dapat kita lakukan pada tahap pencegahan, apa yang kita lakukan ketika TPPO sudah terjadi dan langkah apa yang dapat ditempuh setelah kasus itu terjadi,” ujar Suparman.
Suparman juga menyoroti bahwa TPPO memiliki jaringan kuat dengan intervensi sistem yang kuat pula. Oleh karena itu, solusi yang tepat hanya dapat ditemukan melalui analisis berbasis data akurat.
“Saya kira kita perlu memahami data-data mengenai TPPO yang begitu luar biasa dan kian memprihatinkan. Yang kita hadapi ini bukan pelaku sembarangan, tetapi mereka yang memiliki modal, jaringan, dan kemampuan untuk menjalankan kejahatan ini. Mampukah kegiatan selama empat hari ini menghasilkan rekomendasi yang benar-benar berkualitas untuk mengatasi semua itu?” imbuhnya.
Salah satu data yang menjadi perhatian utama Suparman adalah bahwa sebagian besar korban TPPO berasal dari keluarga miskin. Faktor ekonomi inilah yang kerap menjadi pemicu utama.
Menanggapi hal ini, Dirjen Bimas Katolik saat ini tengah membangun pola kerja yang lebih “out of the box” (di luar kebiasaan) untuk memastikan umat Katolik yang rentan mendapatkan perhatian.
“Bimas Katolik sudah mulai bergerak out of box yakni dengan memastikan umat Katolik memiliki akses ke program-program Pemerintah. Kami sudah sampaikan kepada para Kabid/Pembimas Katolik dan penyuluh di seluruh Indonesia bahwa tugas mereka adalah mencermati umat Katolik yang masuk dalam database kemiskinan apakah mereka sudah mendapatkan akses ke program-program Pemerintah atau belum. Bahkan bantuan Natal Nasional harus juga menyentuh dan membantu keluarga-kelurga korban TPPO,” papar Suparman.
Lebih lanjut, Suparman menekankan bahwa penanganan TPPO tidak bisa hanya dibebankan pada satu instansi.
“Kita sudah banyak memberikan bantuan pembangunan gereja tapi urusan TPPO masih belum maksimal. Semua harus bergerak bersama. Itulah alasannya mengapa pendekatan yang dipilih adalah pendekatan holistik, artinya penanganan TPPO tidak bisa hanya dibebankan pada satu instansi saja, melainkan harus melibatkan seluruh instansi, lintas Kementerian/Lembaga.”
Dalam konteks peran Gereja Katolik, Dirjen menyoroti ikatan kuat antara umat dan Gereja, yang menjadikan Gereja sebagai tempat perlindungan pertama bagi korban.
“Umat korban TPPO sering kali lebih percaya kepada pastor dibandingkan institusi lain. Karena itu, jika umat melapor, gereja dapat memfasilitasi mereka untuk menyampaikan laporan ke instansi atau kementerian terkait. Bimas Katolik tentu siap membantu. Setiap keluhan dari korban harus ditanggapi dengan cepat dan serius,” pungkasnya.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber kompeten, antara lain Staf Ahli Menteri HAM Prof. Dr. Rumadi Ahmad, M.Pd., Uskup Keuskupan Tanjung Karang Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo, Anggota Ombudsman RI Robert Endi Jaweng, S.I.P.M.A.P., dan Sekretaris Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau RD. Marthen L.P Jenarut.
Melalui langkah-langkah konkret yang dibangun Bimas Katolik bersama para mitra, pemerintah bersama gereja berkomitmen untuk berdiri di garis terdepan, dengan harapan penanganan dan pencegahan TPPO dapat menemukan solusi yang holistik dan berkelanjutan.

