DAFTAR Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang telah digodok dalam rapat pada 2 Mei 2025 menjadi sorotan penting. Dokumen ini, yang mencerminkan diskusi antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, adalah cermin upaya negara dalam menyempurnakan payung hukum bagi jutaan pahlawan devisa kita.
Namun, pertanyaan krusial yang harus dijawab adalah: apakah perubahan ini benar-benar akan memberikan perlindungan yang komprehensif, atau justru menciptakan benang kusut baru dalam sistem yang sudah kompleks?
UU PPMI adalah instrumen vital dalam menjamin hak-hak Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari pra-penempatan hingga purna-penempatan. Realitanya, banyak PMI masih menghadapi berbagai masalah, mulai dari penipuan, eksploitasi, hingga kekerasan di negara penempatan.
Oleh karena itu, perubahan undang-undang ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah keharusan demi memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka.
Melihat sekilas DIM yang ada, beberapa poin kunci layak mendapatkan perhatian khusus. Misalnya, pada Pasal 89B, disebutkan bahwa Pemerintah Pusat dan DPR wajib melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan undang-undang ini paling lama 2 tahun setelah diundangkan.
Klausul ini, meskipun penting untuk akuntabilitas, perlu diperjelas mekanisme dan sanksi jika pemantauan tidak dilakukan secara efektif. Tanpa ketegasan, klausul ini berisiko menjadi macan kertas yang tidak memiliki dampak riil.
Lebih lanjut, poin-poin yang berkaitan dengan definisi, ruang lingkup perlindungan, hingga sanksi bagi pelanggar, menjadi inti dari efektivitas undang-undang ini. Apakah DIM ini berhasil mengakomodasi tantangan-tantangan baru dalam migrasi tenaga kerja, seperti perubahan pola penempatan, tren pekerja migran informal, atau bahkan dampak teknologi informasi?
Apakah ada revisi yang kuat terhadap mekanisme pengawasan dan penegakan hukum untuk menindak praktik-praktik ilegal dan eksploitatif oleh oknum atau perusahaan nakal?
Penting untuk memastikan bahwa setiap perubahan yang diusulkan dalam DIM ini benar-benar menjawab akar permasalahan yang dihadapi PMI. Jangan sampai perubahan ini hanya bersifat kosmetik, tanpa menyentuh substansi yang mendasar.
Misalnya, apakah perubahan undang-undang baru ini akan memperkuat peran Atase Ketenagakerjaan dan Perwakilan RI di luar negeri dalam memberikan bantuan hukum dan perlindungan langsung kepada PMI? Bagaimana dengan sinergi antara berbagai lembaga pemerintah, baik di pusat maupun daerah, dalam memberikan pelayanan yang terintegrasi?
Selain itu, partisipasi publik, khususnya dari organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang perlindungan PMI, serta masukan langsung dari PMI itu sendiri, adalah mutlak. Proses legislasi yang transparan dan inklusif akan menghasilkan undang-undang yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi mereka yang akan dilindungi.
Pada akhirnya, perubahan ketiga UU No. 18 Tahun 2017 ini adalah sebuah kesempatan untuk memperkuat komitmen negara terhadap perlindungan PMI. Tantangannya adalah bagaimana menerjemahkan niat baik ini ke dalam regulasi yang konkret, efektif, dan berkelanjutan.