VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Pemerintah Indonesia bersiap mencabut moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi setelah Komisi IX DPR memberikan dukungan.
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menegaskan bahwa pembukaan kembali penempatan PMI harus disertai jaminan pelindungan maksimal bagi tenaga kerja Indonesia.
“Saya bersyukur teman-teman Komisi IX mengapresiasi dan memberi dukungan serta beberapa catatan untuk tema yang kami sampaikan. Soal moratorium Arab Saudi dan kesimpulan-kesimpulannya juga dapat diteruskan, karena itu kan kita melanjutkan SPSK (Sistem Penempatan Satu Kanal),” kata Karding saat ditemui usai rapat di DPR, Senin (28/4/2025).
Baca Juga: Satgas Dibentuk, Pemerintah Mulai Buru Ormas Meresahkan Masyaarakat dan Ganggu Investasi
Menanggapi hal tersbut aktivis Pegiat Peduli Pekerja Migran Indonesia (PMI) Yusri Albima, mengatensi presentasi Abdul Kadir Karding, Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI).
Dimana Karding menyampaikan dan mengklaim telah melakukan “Kajian Mendalam” terkait Pelindungan PMI di Negara Kerajaan Saudi Arabia sehingga merencanakan pencabutan Moratorium dan melaksanakan penempatan sekitar 600,000 PMI PRT dan Pekerja Formal.
Dalam beberapa kesempatan, Karding juga mempromosikan gaji sebesar SR 1500 dan bonus Umroh.
Yusri yang merupakan mantan TKI di Saudi, Oman dan Sudan dengan tegas mengatakan bahwa itu kebohongan publik.
Menurut mantan TKI di Saudi, Oman dan Sudan itu, gaji 1500 real (Rp6,610,855.54) tidaklah manusiawi, terlebih sangat rentan kerja paksa.
Baca Juga: Dakwaan TPPO Lemah, Kuasa Hukum Dorong Gugurnya Perkara
Yusri membandingkan gaji PRT di Hongkong dan Taiwan yang sudah bergaji lebih dari Rp10 juta/bulan.
“Technical Agreement SPSK yang barawal dari Minutes of Meeting (Notulen Pertemuan) bukanlah Perjanjian Tertulis (Bilateral Agreement)” tegas Yusri.
Yusri yang merupakan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri DPP Laskar Merah Putih Indonesia, menjelaskan jika benar Kajian mendalam tersebut telah dilakukan, maka hasilnya harus segera disampaikan secara terbuka kepada publik.
“Di era keterbukaan informasi publik seperti sekarang, tidak ada lagi alasan untuk menyembunyikan informasi, terutama yang menyangkut kemaslahatan WNI/PMI di luar negeri,” ungkapnya.
Ia menyebut bahwa informasi menyangkut data Pekerja Migran Indonesia, kondisi hukum mereka, serta risiko yang dihadapi merupakan hak publik yang tidak bisa ditutup-tutupi atas nama formalitas atau dalih institusional.
Yusri membeberkan sejumlah pertanyaan mendasar yang menurutnya seharusnya bisa dijawab oleh kajian yang disebut “mendalam” itu:
“Saya ingin tahu, berapa sebenarnya jumlah WNI yang menjadi PMI di sektor rumah tangga di Arab Saudi sebelum moratorium tahun 2011 diberlakukan? Ini penting untuk memetakan dampak moratorium terhadap sektor domestik,” ujarnya.
Sebagai tokoh yang dikenal berpengalaman panjang di isu migrasi tenaga kerja, Yusri meyakini bahwa perlindungan PMI di Arab Saudi membutuhkan lebih dari sekedar kajian formal.
Ia menilai perlu adanya pendekatan menyeluruh yang melibatkan data aktual, keberanian diplomatik, dan pemahaman lapangan yang mendalam.
“Saya tidak anti-kajian,” katanya.
“Tapi kalau kajian itu hanya menjadi dokumen sunyi di laci institusi, maka itu hanya jadi cerita, bukan pelindung bagi rakyat. Keharusan adanya Perjanjian Tertulis diatur jelas dalam Pasal 31 huruf UU 18/2017, lalu dipertegas dengan larangan di Pasal 72 huruf d, kemudian ancaman pidana 5 tahun dan denda 15 Miliar dalam Pasal 86 huruf d. Apakah KP2MI sudah menerbitkan draft Perjanjian Kerjasama Penempatan P3MI dengan Mitranya dan Perjanjian Kerja? Atau seperti biasanya hanya jadi tukang stempel?” pungkas Yusri Ketua Umum AMBI.