VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini mendesak pemerintah segera memperbaiki sistem pengawasan dan penanganan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya bagi yang non-prosedural alias ilegal. Hal ini menyusul kabar seorang PMI asal Bandung, Rizki Nur Fadhila (18) yang tersesat di negara Kamboja beberapa waktu lalu.
Yahya menyebut pemerintah tidak boleh menganggap enteng situasi ini, karena Kamboja bukan negara tujuan penempatan resmi PMI.
Ia menekankan bahwa gelombang PMI ilegal yang semakin meningkat menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan.
Baca Juga: F-Buminu Sarbumusi Sebut Ada 300 P3MI Bermasalah
“Menurut informasi dari Kementerian P2MI semua pekerja migran yang bekerja di Kamboja itu ilegal. Kamboja bukan negara tujuan penempatan secara resmi PMI. Pemerintah harus turun tangan untuk membenahi kasus tersebut. Karena semakin hari jumlahnya terus meningkat,” ujar Yahya, Jumat (21/11/2025).
Ia juga mengungkap belum ada data pasti mengenai jumlah warga Indonesia yang bekerja secara ilegal di negara tersebut.
Yahya mendesak pemerintah Indonesia dan otoritas Kamboja untuk melakukan pembicaraan diplomatik guna memulangkan para WNI itu secara bertahap.
Baca Juga: PMI Viral Asal Serang, Buka Suara: Klarifikasi Masalah dan Ungkap Ingin Pulang ke Indonesia
“Walaupun mereka ilegal pemerintah tetap harus tetap memberikan perlindungan karena mereka warga negara kita juga. Harus ada pembicaraan dengan pemerintah Kamboja. Mereka harus dipulangkan ke Indonesia secara bertahap,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa banyak PMI ilegal yang berangkat ke Kamboja sebenarnya merupakan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), karena diberangkatkan menggunakan visa turis.
“Modus yang dipakai oleh pekerja ilegal tersebut biasa menggunakan visa turis. Mereka merupakan korban TPPO,” ujarnya.
Sementara itu, Rizki Nur Fadhilah diketahui sudah berada di KBRI Phnom Penh dalam kondisi sehat dan menunggu proses pemulangan. KBRI mengungkap bahwa keluarga Rizki telah melapor sejak 10 November 2025 melalui hotline perlindungan WNI, namun minimnya informasi membuat pencarian awal cukup sulit.
