VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Partai Buruh menekan DPR agar segera mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), setelah permohonan uji materi terkait ambang batas parlemen yang mereka ajukan ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Presiden Partai Buruh, Said Salahudin menegaskan partainya tetap menghormati keputusan MK, namun mendorong DPR untuk tidak menunda revisi UU Pemilu lebih lama.
“Kami akan tetap berdiri bersama MK, sekalipun permohonan kami kali ini belum dapat dikabulkan oleh Mahkamah. Namun demikian, Partai Buruh mendorong agar DPR mempercepat proses pembahasan revisi UU Pemilu,” ujar Said, Jumat (17/10/2025).
Baca Juga: Kapolri Ajak Buruh Ikut Jaga Kamtibmas
Partai Buruh sebelumnya menggugat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Namun, MK menolak permohonan tersebut dengan alasan belum saatnya diajukan karena DPR dan pemerintah belum menindaklanjuti putusan MK sebelumnya terkait perubahan aturan ambang batas.
Said menyebut hingga kini belum ada kepastian dari DPR terkait desain baru sistem Pemilu 2029, terutama soal aturan parliamentary threshold. Ia menilai hal itu menunjukkan lambannya respons DPR terhadap perintah MK.
Baca Juga: Luhut Jegal Tuntutan Buruh Soal Upah
“Faktanya, sampai hari ini atau 1,8 tahun pasca-Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, masih belum ada titik terang dari DPR mengenai konsep redesain sistem Pemilu 2029, khususnya mengenai aturan baru parliamentary threshold,” katanya.
Ia juga menyoroti perintah MK dalam putusan sebelumnya yang secara tegas meminta DPR segera merevisi UU Pemilu sebelum penyelenggaraan Pemilu berikutnya.
“Dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, dan dinyatakan kembali dalam Putusan Nomor 131/PUU-XXIII/2025, MK secara eksplisit menyebutkan kata ‘segera’ di dalam perintahnya kepada DPR untuk merevisi UU Pemilu,” tegas Said.
Meski permohonan ditolak, Partai Buruh menegaskan tetap konsisten memperjuangkan penghapusan ambang batas parlemen. Said berpendapat, jika aturan itu tetap diberlakukan, maka seharusnya didasarkan pada perolehan suara sah di daerah pemilihan, bukan secara nasional.
“Apabila aturan PT tetap diberlakukan, PT harus berbasis pada perolehan suara sah di daerah pemilihan, bukan berbasis pada perolehan suara sah nasional. Itu aturan yang lebih adil agar puluhan juta suara pemilih tidak selalu terbuang percuma pada setiap penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.