VOICEINDONESIA.CO, Surakarta – Ketiadaan data yang valid dan terpilah mengenai pekerja migran Indonesia (PMI) menjadi sorotan tajam dan pertanyaan krusial dalam Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa, Swiss.
Kondisi ini memperlihatkan kelemahan fundamental pemerintah dalam menyediakan basis data untuk kebijakan perlindungan.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, menegaskan bahwa hingga saat ini, data register pekerja migran yang paling mendasar sekalipun belum tersedia dengan baik.
“Kita juga menyoroti soal bagaimana tidak ada data yang bisa dipercaya untuk menunjukkan betapa, berapa sih jumlah real pekerja migran di Indonesia. Ini yang kemarin dipertanyakan juga ya, soal data register migrant worker saja itu sampai sekarang belum ada,” ujar Wahyu dalam diskusi publik, Selasa (2/12/2025).
Persoalan data ini diperparah oleh absennya pendekatan interseksionalitas dalam pendataan PMI. Data terpilah berdasarkan gender, disabilitas, dan kategori rentan lainnya sama sekali tidak tersedia. Akibatnya, kebijakan perlindungan yang disusun berpotensi tidak tepat sasaran.
Baca Juga: Delegasi 22 Orang ke Jenewa Dinilai Tidak Masuk Akal di Tengah Efisiensi Anggaran
“Data terpilah gender saja kadang-kadang enggak, apalagi data misalnya pekerja migran kita dengan disabilitas,” tegas Wahyu.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan interseksionalitas sangat penting untuk memahami kebutuhan spesifik kelompok rentan seperti pekerja dengan disabilitas, pekerja musiman, dan stateless person, namun seringkali diabaikan oleh negara.
Akademisi UNIKA Atmajaya, Indri Saptaningrum, menggarisbawahi bahwa masalah ini adalah kelemahan struktural dalam sistem pelaporan pemerintah kepada treaty bodies PBB. Data empiris dari lapangan yang seharusnya melengkapi laporan pemerintah justru tidak dimiliki oleh negara.
“Data-data yang teman-teman miliki ini adalah data-data yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Ini adalah data dari lapangan,” kata Indri.
Indri menambahkan, laporan dari masyarakat sipil (CSO) harus komprehensif mengingat Komite Pekerja Migran PBB hanya terdiri dari 14 anggota independen, dengan hanya satu perwakilan dari Asia. Hal ini menuntut data yang jelas agar anggota komite yang tidak familiar dengan konteks Indonesia dapat memahami isu secara mendalam.
Staf Human Rights Working Group (HRWG), Ariela N. Syifa, menjelaskan bahwa Komite meminta elaborasi data lebih lanjut karena sidang terakhir diadakan pada tahun 2017. Banyak perubahan yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun tersebut yang belum terdokumentasi dengan baik oleh Pemerintah Indonesia.
“Mereka sepertinya belum terlalu tahu gitu loh banyak perubahan yang terjadi dari antara 2017 sampai 2025. Sehingga pertanyaan yang mereka sampaikan kemarin lebih banyak bentuk ke bisa gak kita kasih informasi lebih lanjut terkait hal ini hal itu,” ujar Syifa.
Ketiadaan data yang komprehensif dan akurat ini secara langsung menghambat pemerintah dalam menyusun kebijakan perlindungan PMI yang efektif. Tanpa data yang valid, mustahil mengukur keberhasilan dan efektivitas program perlindungan yang telah berjalan.

