VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Kebijakan moratorium penempatan Pekerja Migran Indonesia ke Timur Tengah yang diberlakukan sejak 2015 justru memicu bencana baru. Alih-alih melindungi, kebijakan ini malah melahirkan sindikat perdagangan manusia yang beroperasi lebih masif. Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia mencatat data mencengangkan tentang penempatan nonprosedural kini melampaui angka penempatan resmi.
Ketua Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi) Ali Nurdin Abdurrahman mengungkapkan, catatan organisasinya menunjukkan tahun ini sebagai periode paling mengerikan dalam 10 tahun terakhir. Data penempatan nonprosedural lebih banyak dibanding penempatan resmi, bahkan perbandingannya sudah melebihi angka penempatan yang resmi.
“Ini bukti nyata kegagalan moratorium. Kebijakan yang seharusnya melindungi justru mendorong PMI masuk ke jalur ilegal yang jauh lebih berbahaya,” ungkap Ali kepada voiceindonesia.co, Rabu (19/11/2025).
Baca Juga: SBMI Tuding Kemenhub Membangkang Putusan MK soal Perlindungan AKP Migran
Kegagalan moratorium berakar pada satu masalah mendasar: pemerintah desa belum menjadi pusat informasi sebagaimana diamanatkan UU Nomor 18/2017 Pasal 42. Akibatnya, 80 persen informasi pekerjaan ke luar negeri justru datang dari calo dan sponsor yang beroperasi secara online maupun offline. Minimnya sosialisasi migrasi aman dari pemerintah membuka celah lebar bagi sindikat memanfaatkan keputusasaan masyarakat yang terlilit kemiskinan dan konflik rumah tangga.
Ali menjelaskan, kondisi ini diperparah oleh pelayanan penempatan resmi yang sulit dan berbelit. Masyarakat yang membutuhkan pekerjaan segera lebih memilih jalur cepat meskipun ilegal. Ditambah lagi, tidak ada tindakan hukum tegas yang dapat menjerakan pelaku. Yang lebih mengejutkan, terdapat keterlibatan oknum pejabat pemerintah dalam penempatan nonprosedural.
Baca Juga: Benarkah Sindikat TPPO Libatkan Aparat Negara?
“Belum ada layanan terpadu yang memverifikasi PMI, majikan, agen dari pihak KJRI/KBRI untuk serah terima. PMI mengalami eksploitasi, kerja berlebih, kekerasan fisik dan seksual, PHK, kabur, takut melaporkan permasalahannya dan sulit mendapatkan akses,” paparnya.
Situasi di negara penempatan tidak kalah memprihatinkan. PMI yang diberangkatkan melalui jalur ilegal dijemput langsung oleh agen atau majikan tanpa verifikasi resmi. Mereka terperangkap dalam lingkaran eksploitasi tanpa perlindungan hukum. KBRI/KJRI tidak memiliki data kedatangan mereka, sehingga ketika terjadi masalah, penyelesaiannya menjadi sangat sulit.
Ketua F-Buminu menyoroti praktik ugal-ugalan PJTKI/P3MI dalam perekrutan yang nyaris tanpa seleksi. Pemalsuan data KTP marak terjadi. Yang lebih parah, mereka menempatkan PMI yang tidak kompeten bahkan ada yang tidak bisa baca tulis. Akibatnya, banyak terjadi kasus eksploitasi, kekerasan fisik, pelecehan seksual, kerja berat, hingga gaji tidak dibayar.
“PJTKI/P3MI ini seperti lintah darat. Mereka hanya memikirkan keuntungan tanpa peduli nasib PMI. Begitu ada masalah, mereka lepas tangan,” kata Ali dengan nada geram.
Kondisi semakin kompleks ketika PMI yang mengalami masalah menjadi overstayer. Mereka mencari perlindungan ke teman sesama PMI yang sudah lama bekerja. Namun, situasi ini justru membuat mereka berpotensi menjadi korban TPPO berulang. Tanpa dokumen resmi, mereka tidak berani melapor ke pihak berwenang karena takut ditangkap atau dideportasi.
Ali menekankan, persoalan kepulangan atau purna PMI juga tidak kalah rumit. Banyak keluarga tidak mendapatkan akses informasi tentang kondisi anggota keluarganya yang bermasalah di luar negeri. Hak yang terlanggar seperti gaji yang tidak dibayar sulit diurus karena tidak ada dokumentasi resmi. PMI yang gagal juga tidak mendapatkan BLT atau PKH, sehingga berpotensi kembali menjadi PMI nonprosedural karena terlilit hutang.
“Ini lingkaran setan yang terus berputar. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret, bukan sekadar retorika,” tegasnya.
Ironi paling menyakitkan, kebijakan yang awalnya ditujukan untuk membenahi sistem perlindungan justru menciptakan pasar gelap yang lebih berbahaya dan terorganisir. Moratorium yang seharusnya menjadi solusi malah memunculkan masalah baru yang lebih kompleks. F-Buminu mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi ulang kebijakan ini dengan melibatkan serikat buruh dan NGO yang konsen di sektor pekerja migran untuk merumuskan solusi yang lebih komprehensif dan membumi.
