VOICEINDONESIA.CO, Batam – Jaringan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia kian mengkhawatirkan dengan pelaku yang memiliki modal besar dan akses kekuasaan. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Binmas) Katolik Kementerian Agama (Kemenag) mengungkap bahwa korban dari keluarga miskin menjadi sasaran empuk kejahatan terorganisir ini.
Direktur Jenderal Bimas Katolik Kemenag, Suparman mengungkapkan kondisi korban TPPO dan keluarganya sebagian besar berasal dari keluarga miskin dengan pendidikan rendah. Hal ini membuat mereka mudah dimanfaatkan pelaku kejahatan yang terorganisir tersebut. Saat menjadi korban, para korban justru mengalami apatisme karena tidak tahu harus melapor ke mana.
“Yang kita hadapi adalah pelaku-pelaku yang punya uang, dan pelaku-pelaku yang juga bisa memanfaatkan kekuasaan,” ungkap Suparman dalam pembukaan kegiatan, di Batam, Rabu (26/11/2025).
Baca Juga: Tantangan Pencegahan TPPO Berat, Peran Pemuka Agama Jadi Kunci
Suparman mempertanyakan kemampuan menghasilkan rekomendasi berkualitas untuk melawan pelaku yang memiliki modal, jaringan, dan kemampuan menjalankan kejahatan terorganisir. Data menunjukkan kemiskinan menjadi pintu masuk utama TPPO, bahkan ada balita umat katolik yang meninggal karena cacingan akibat tidak memiliki akses ke layanan kesehatan.
Kementerian Agama mulai bergerak keluar dari pola kerja konvensional dengan pendekatan “out of the box”. Kabid, pembimas katolik, dan penyuluh di seluruh Indonesia ditugaskan mencermati umat katolik dalam database kemiskinan. Mereka harus memastikan umat mendapat akses ke program pemerintah, bahkan bantuan Natal Nasional diarahkan menyentuh keluarga korban TPPO.
Baca Juga: Bimas Katolik dan Gereja Katolik Bersatu Tangani TPPO: Dorong Pendekatan Holistik dan Aksi Konkret
Suparman mengkritisi fokus pembangunan fisik gereja yang sudah banyak dilakukan. Ia menekankan urusan TPPO masih belum maksimal dan semua pihak harus bergerak bersama karena penanganan tidak bisa dibebankan satu instansi saja, melainkan lintas kementerian dan lembaga.
Suparman menjelaskan perlunya ketajaman dalam membedah tiga fase penanganan. Intervensi pada tahap pencegahan, saat kejadian, hingga pasca kejadian membutuhkan pendekatan berbeda dengan melibatkan kementerian berbeda. Korban sering kali bingung harus melapor ke RT, kelurahan, kecamatan, atau bahkan gubernur.
Ketaatan umat pada Gereja Katolik menjadi kunci penanganan korban. Suparman mengungkapkan korban lebih mudah berkeluh kesah dengan pastor atau uskup dibanding instansi pemerintah. Kepercayaan ini muncul karena gereja tidak membuat korban disuruh ke sana kemari, berbeda dengan instansi yang sering membuat korban frustrasi.
“Umat korban TPPO sering kali lebih percaya kepada pastor dibandingkan institusi lain,” tegas Suparman.
Ia menegaskan setiap keluhan korban harus ditanggapi cepat dan serius. Paroki dan lingkungan harus diberdayakan sebagai pusat pertama penanganan TPPO bagi umat katolik. Gereja dapat memfasilitasi korban menyampaikan laporan ke instansi terkait, dengan pemerintah siap membantu.
Suparman mengusulkan pemanfaatan video pendek yang rutin ditayangkan sebelum misa. Media ini dinilai efektif mensosialisasikan pencegahan TPPO agar umat lebih melek terhadap modus kejahatan. Tanpa penanganan serius, apatisme korban akan membuat pelaku makin merajalela karena tidak ada yang berani melaporkan.
Kegiatan ini menghadirkan narasumber kompeten seperti Staf Ahli Menteri HAM Rumadi Ahmad, Uskup Keuskupan Tanjung Karang Mgr. Vinsensius Setiawan Triatmojo, Komisioner Ombudsman Robert Endi Jawen, dan Sekretaris Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau KWI RD. Marthen L.P Jenarut. Pemerintah bersama gereja berkomitmen mencari solusi holistik dengan memastikan unit pertama penanganan yang jelas agar korban tidak lagi terombang-ambing.

