VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Wakil Menteri Agama (Wamenag), Romo HR Muhammad Syafi’i menegaskan agar pelabelan teroris terhadap aparatur sipil negara (ASN) di Aceh dilakukan secara hati-hati.
Terlebih ASN diduga terafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII) faksi MYT di Aceh.
Menurutnya, perlu kehati-hatian dan informasi yang akurat dalam menilai keterlibatan individu terhadap kelompok ideologis.
Baca Juga: Menkum: Amnesti dan Abolisi Demi Kepentingan Negara
“Apakah benar seluruh unsur yang menyebabkan mereka disebut sebagai teroris sudah terbukti? Jika benar, maka kita serahkan sepenuhnya kepada proses hukum,” ujarnya di Jakarta, Jumat (8/8/2025).
Syafi’i mengingatkan bahwa keterpaparan ideologi seperti NII tidak serta-merta berarti terlibat dalam tindak pidana terorisme.
Berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme, kata dia, seseorang baru dapat disebut teroris jika memenuhi unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.
Baca Juga: Densus 88 Tangkap Dua ASN Diduga Terlibat Terorisme
“Saya setuju dengan pemberantasan jaringan teror, tapi semua harus dilakukan sesuai undang-undang. Jangan sampai seseorang yang bukan teroris diekspos sebagai teroris,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga suasana kondusif agar tidak memicu islamofobia maupun memperkeruh opini publik.
“Presiden Prabowo menugaskan saya untuk merawat moderasi beragama. Persoalan-persoalan sensitif harus disikapi dengan bijak agar tidak merusak kohesi sosial,” tambahnya.
Baca Juga: Pemerintah Kaji Kelas Khusus Migran di Tingkat SMA
Sementara itu, Kepala Densus 88 Sentot Prasetyo memastikan bahwa proses penangkapan tersangka telah melalui tahapan panjang sebagai bagian dari strategi pencegahan dini.
“Ini bukan proses instan. Kami harap pada akhirnya semua bisa terang benderang,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan Densus 88 menerapkan dua pendekatan dalam menangani ekstremisme, yakni pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach).
Dalam konteks soft approach, Densus bekerja sama dengan Kementerian Agama menyusun kurikulum keagamaan moderat, termasuk untuk pesantren.
“Harapannya, mereka yang terpapar ekstremisme seperti NII atau Jamaah Islamiyah bisa bertransformasi menjadi bagian dari Islam yang moderat,” kata Sentot.