VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak keras formula kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang diklaim telah disepakati pemerintah dan pengusaha.
Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menilai kebijakan tersebut tidak melibatkan perwakilan buruh dalam proses pembahasannya.
“Angka 8,5% hingga 10,5% itulah yang menjadi acuan perjuangan kami. Selain itu, kami juga menuntut adanya upah minimum sektoral yang nilainya harus lebih besar daripada UMK,” ujar Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Senin (10/11/2025).
Baca Juga: Sempat Ditahan Otoritas Malaysia, 44 Pekerja Migran Indonesia Akhirnya Dipulangkan
Menurutnya, rencana pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan menjelang penetapan upah minimum sangat tidak tepat.
“PP ini belum dibahas dengan serikat pekerja. Kalau tiba-tiba diterbitkan, itu ngawur dan ngaco,” tegasnya.
Said Iqbal juga menyoroti pernyataan Ketua Dewan Pengupahan Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, yang menyebut Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui formula baru tersebut.
“Kami menduga itu bohong. Tidak benar Presiden Prabowo setuju terhadap formula baru,” ujarnya.
Baca Juga: Peringati Hari Pahlawan, Prabowo: Jangan Sekali-sekali Lupakan Perjuangan Mereka!
Ia mengkritik kecenderungan pemerintah membuat kebijakan upah tanpa melibatkan buruh.
“Bagaimana mungkin kebijakan yang menyangkut kehidupan buruh dibuat tanpa melibatkan buruh? Ini bertentangan dengan semangat dialog sosial dan prinsip keadilan,” katanya.
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023, Said Iqbal menegaskan bahwa kenaikan upah minimum harus mengacu pada tiga indikator: pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu yang menjadi hak prerogatif Presiden.
“Inflasi dari Oktober 2024 sampai September 2025 sebesar 2,65% dan pertumbuhan ekonomi 5,12%. Tidak ada alasan menurunkan indeks tahun ini menjadi 0,2–0,7,” jelasnya.
Ia menuding langkah pemerintah yang menurunkan indeks sebagai bentuk keberpihakan pada pengusaha besar.
“Jika indeks tertentu diturunkan, artinya Menaker melindungi pengusaha hitam yang ingin membayar upah murah,” ucapnya.
Lebih jauh, Said Iqbal mengingatkan bahwa Presiden Prabowo sendiri menegaskan pentingnya upah layak untuk meningkatkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi.
“Kalau menterinya malah menurunkan indeks jadi 0,2, itu melawan kebijakan Presiden sendiri. Ini kebijakan kapitalistik yang bertentangan dengan visi kerakyatan Presiden,” tegasnya.
KSPI dan Partai Buruh juga menolak usulan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang menginginkan indeks tertentu hanya di kisaran 0,1–0,5.
“Kalau menggunakan rumus itu, kenaikan upah akan sangat kecil, bahkan di bawah kebutuhan hidup layak,” tambahnya.
