Jakarta,akuupdate.com – Dalam rangka merayakan Hari Kerja Layak Internasional yang jatuh pada 7 Oktober lalu, Perempuan Mahardhika menggelar webinar bertema “Omnibus Law Cipta Kerja: Pemerintah Langgar Hak Kerja Layak” melalui platform zoom meeting yang dilaksanakan pada pukul 19.00 hingga pukul 21.00 WIB, Jum’at (09/10/2020).
Di tahun 2020 ini, mimpi untuk menciptakan kerja yang layak untuk hidup yang layak masih jauh dari kenyataan, sebaliknya malah mengalami langkah mundur dengan disahkannya Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR pada 5 Oktober 2020.
Webinar ini dipandu oleh Luviana dari Konde.co dan diikuti oleh puluhan peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Dengan menghadirkan narasumber lintas sektor seperti Lita Anggraini dari Jala PRT, Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika, Jumisih dari Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Titin Wahab dari Swara dan Endah Lismartini dari AJI Indonesia.
Webinar ini ingin menyoroti bagaimana kodisi kerja layak di masing-masing sektor serta bagaimana Omnibus Law
mempengaruhi hak untuk mendapatkan kerja layak ini.
Luvi sebagai pembicara pembuka dengan mengingatkan peserta bahwa pemerintah Indonesia telah menandatangai beberapa perjanjian internasional, seperti Konvensi ILO, CEDAW dan Sustainable Development Goal’s (SDG’s) yang bertujuan untuk mensejahterakan pekerja.
Disisi lain, pada tanggal 5 Oktober lalu, pemerintah justru mengesahkan Omnibus Law yang kontraproduktif dengan komitmen pemerintah ketika menandatangi perjanjian-perjanjian tersebut.
Sementara, Lita mengangkat isu mengenai bagaimana PRT belum diakui sebagai pekerja, dianggap sebagai pencari kerja yang bukan penerima upah. Selama ini, PRT dianggap sebagai pekerjaan informal yang pekerjanya dianggap sebagai pencari kerja bukan penerima upah.
Status ini saja sudah dikritik pedas oleh Lita, “mana ada sih pencari kerja yang tidak mencari upah?,” tegasnya.
Lita juga menjelaskan bahwa saat ini, lapangan pekerjaan untuk PRT terbuka luas. Tetapi, disisi lain, pengakuan terhadap PRT tidak ada. Akibatnya pemberi kerja tidak memiliki mandat untuk mendaftarkan pekerjanya demi atau agar mendapatkan perlindungan kesehatan. Jam kerja maupun upah pun tidak memiliki standar, hanya berdasarkan kesepakatan mirip seperti sistem kemitraan.
Omnibus Law Cipta Kerja dianggap merugikan karena PRT saja belum dilindungi oleh Undang Undang mengingat RUU Perlindungan PRT sudah 16 tahun mangkrak. Perjuangan untuk mengawal pengesahan RUU Perlindungan PRT justru dipukul mundur oleh Omnibus Law yang meninggalkan pekerja formal apalagi pekerja informal.
Titin Wahab dari Swara membagikan sudut pandang transpuan menjelaskan bagaimana Omnibus Law mempengaruhi kehidupan transpuan. Kehidupan transpuan di Indonesia masih bisa dibilang jauh dari kata layak, jangankan memikirkan mengenai pekerjaan layak, mendapatkan pengakuan identitas seperti KTP saja pun masih sulit mereka dapatkan. Sehingga menyulitkan dalam mencari pekerjaan bahkan mengakses bantuan pemerintah di masa pandemi Covid-19 ini.
Kebanyakan transpuan yang ada bekerja dengan membuka salon, yang salonnya kebanyakan tutup di masa pandemik. Mereka juga bekerja sebagai musisi jalanan atau pengamen, namun sering bolak-balik tertangkap karena dianggap sebagai penyebar virus ketika berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain ketika mengamen. Mirisnya, ketika bekerja sebagai pekerja seks pun mereka rentan sekali untuk dilecehkan. Mimpi Titin dan transpuan lain untuk kerja layak masih sangat jauh memang, meskipun definisi kerja layak yang ingin dicapainya saat ini hanya, “jangan pandang kami dengan ekspresi kami. Ini lah kami dengan ekspresi feminin tapi kami juga berhak menempuh pendidikan dan kerja,” paparnya.
Nasib buruh garmen lebih beruntung, menurut Jumisih, karena telah diakui sebagai buruh di sektor formal dan dilindungi hukum. Tapi, kenyataan di lapangan sistem outsourcing serta kontrak berjangka pendek membuat kehidupan buruh garmen semakin ketakutan akan diputus kontrak. Jangka waktu kontrak yang pendek dengan kisaran hanya sekira 1,3 dan 6 bulan menyulitkan buruh-buruh untuk mengakses hak-hak mereka sebagai pekerja.
Karena kontrak pendek memaksa mereka untuk sering berpindah perusahaan, akibatnya mereka harus disibukkan dengan bolak-balik mengurus BPJS Kesehatan.
Dan diperkirakan telah banyak buruh memiliki 4 hingga 5 kartu BPJS, tetapi ada juga perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya ke BPJS karena kontrak yang dianggap singkat tadi. Buruh di industri garmen juga seringkali dianggap sebagai unskilled labour yang bisa dibayar dengan harga murah, padahal barang yang mereka hasilkan merupakan pakaian kualitas eksport bagi merk-merk terkenal di dunia yang mendatangkan pemasukan yang tidak sedikit bagi pengusaha maupun negara.
Endah Lismartini dari AJI Indonesia kemudian juga angkat bicara mengenai kondisi kerja jurnalis di Indonesia yang tersebar sebagai pekerja di 54.000 media di Indonesia. Jumlah media yang menjamur ini tidak lantas membuat kehidupan jurnalis menjadi mudah. Berkali-kali ia menekankan bahwa, “jurnalis itu adalah pekerjaan yang gila,” ungkapnya.
Orang yang bertahan menjadi jurnalis bisa jadi melakukannya karena mereka memang mencintai pekerjaan ini.” Tidak ada yang namanya lembur jika bekerja di media. Jam kerja mereka adalah 24 jam, harus selalu siap sedia terutama ketika ada breaking news dengan gaji yang tetap. Fasilitas-fasilitas seperti ruang laktasi, kontrak kerja yang jelas, jaminan keamanan ketika meliput, keberadaan serikat pekerja masih menjadi barang yang langka. Miris, karena ternyata media akan dengan gampang mengeluarkan kartu pers bagi para jurnalisnya namun memberikan hak-hak pekerja kepada jurnalisnya masih sulit dengan alasan media baru berdiri dan masih kecil.
Saat ini, Endah dan AJI masih secara konsisten mendorong terbentuknya serikat pekerja dan menggaungkan slogan, “tidak ada berita seharga nyawa.”
Omnibus law memang bermasalah, Ika dari Perempuan Mahardhika mengatakan Undang Undang ini adalah langkah mundur dari pemenuhan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) yang baru akan diperjuangkan. Penelitian
Perempuan Mahardhika pada tahun 2017 mengenai Hak Maternitas pada buruh di industry garmen mengungkapkan bahwa buruh perempuan memiliki ketakutan tersendiri akan kehamilan. Ini disebabkan adanya sistem yang tidak memperhatikan HKSR, perempuan dianggap hanya bernilai ketika mereka memenuhi target yang ditetapkan oleh perusahaan.
Sehingga, ketika perempuan tidak dapat memenuhi target kerjanya karena hal-hal yang berkaitan dengan fungsi biologisnya, mereka akan dianggap tidak berharga. Perempuan kemudian menjadi pekerja dengan bayaran rendah dengan alasan ia bukan pencari nafkah utama didalam keluarga. Pekerjaan perempuan dianggap sebagai
pekerjaan sampingan atau membantu mencari nafkah saja.
Disisi lain, produktivitas perempuan juga dinilai berdasarkan usianya sehingga banyak kekhwatiran jika mereka telah dianggap tua, mereka tidak lagi bisa mendapatkan pekerjaan.
Ika menyimpulkan Omnibus Law “menciptakan rezim yang represif terhadap buruh perempuan.”
Tanggapan yang datang dari Rima (YASANTI) serta Dewi Tjakrawinata (Yayasan Peduli Syndroma Down Indonesia) semakin menguatkan bahwa omnibus law merugikan semua pihak. Buruh rumahan yang statusnya tidak diakui dan dibayar dengan harga murah hingga disabilitas yang lapangan pekerjaannya semakin dipersempit dengan dihilangkannya kewajiban perusahaan untuk menerima pekerja dengan disabilitas dan diperbolehkannya PHK kepada pegawai yang menjadi disabilitas karena kecelakaan kerja.[]Zark/au