VoiceIndonesia.co, Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan Indonesia memiliki kemampuan teknologi yang cukup baik dalam mengatasi krisis air akibat perubahan iklim.
“Indonesia memiliki kemampuan teknologi yang cukup baik, ditambah berbagai kearifan lokal budaya masyarakat yang dapat menutup kesenjangan kapasitas dan ketangguhan dalam mengatasi krisis air akibat perubahan iklim,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, di Jakarta, Selasa.
Ia menekankan kepemilikan teknologi yang mumpuni dapat menimalisir risiko bencana alam akibat perubahan iklim yang dihadapi.
Kepala BMKG tersebut mengatakan dengan teknologi yang mumpuni, maka informasi dan data cuaca dan iklim dapat dipublikasikan ke masyarakat sehingga bisa melakukan berbagai langkah pencegahan, mitigasi ataupun pengurangan risiko bencana, sebelum bencana terjadi.
Dwikorita menilai saat ini terjadi kesenjangan yang lebar antara negara maju dengan negara berkembang, negara kepulauan dan negara miskin dalam hal kapasitas sosial-ekonomi dan teknologi.
Menurutnya, hal ini berimbas pada ketangguhan suatu negara dalam beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim, terutama terkait dampak terhadap ketersediaan air, pangan dan energi.
Dwikora memaparkan berdasarkan laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorlogical Organization/ WMO), 60 persen kerugian bencana di negara maju terjadi akibat perubahan iklim.
Namun dampak terhadap produk domestik brutp (PDN) negara tersebut hanya sekitar 0,1 persen.
Sementara negara berkembang, tujuh persen kerugian bencana bisa menyebabkan dampak hingga 5-30 persen terhadap PDB.
Situasi ini, kata Dwikorita, juga akan semakin memperparah kesenjangan ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan dan ketangguhan masyarakat dalam beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim.
“Negara-negara maju mungkin menganggap persoalan ini adalah persoalan sepele, namun bagi negara berkembang, kepulauan, dan miskin persoalan ini dampaknya bisa sangat besar,” imbuhnya.
Maka dari itu, Dwikorita menegaskan bahwa World Water Forum (WWF) yang akan dilansungkan di Bali pada 18-24 Mei 2024 mendatang dapat menjadi momentum kolaborasi dalam upaya untuk menutup kesenjangan antar bangsa, untuk lebih dini dalam mengantisipasi iklim dan krisis air, baik secara global ataupun regional dan lokal.
Ia menambahkan untuk mengantisipasi krisis air yang terjadi, butuh keterlibatan berbagai pihak, diantaranya Pihak Pemerintah, Akademisi/Ilmuan, Pihak Swasta, Masyarakat dan Media.