VOICEINDONESIA.CO, Makassar – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra memastikan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru disahkan tetap akan dijalankan pada awal Januari 2026 mendatang, meski menuai kritik dari berbagai pihak.
Yusril menyatakan pemerintah belum melihat alasan mendesak untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait penundaan pelaksanaan KUHAP. Aturan yang telah disahkan dan dalam proses pengundangan itu dinilai lebih baik dijalankan terlebih dahulu.
“Saya kira lebih baik dijalankan dulu, kecuali Presiden berpendapat lain,” ujar Yusril seusai menghadiri kuliah umum di Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (24/11/2025).
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Sebut Pembelaan Habiburokhman Soal Revisi KUHAP “Ngawur”
Yusril mengatakan pihak yang tidak sepakat dengan KUHAP untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, kekurangan dalam aturan bisa diperbaiki kemudian hari melalui amendemen atau judicial review, bukan dengan menunda pelaksanaannya.
Pemerintah kini harus menyusun sejumlah peraturan pemerintah untuk melaksanakan KUHAP dalam waktu sempit, tersisa sekitar lima minggu. Mulai dari peraturan Kapolri, peraturan Jaksa Agung, hingga sejumlah aturan turunan lainnya. Yusril berpendapat, hal yang membutuhkan aturan pelaksanaan bisa ditunda, sementara yang tidak membutuhkan aturan turunan bisa langsung berjalan.
Baca Juga: Janji Tangkap Penyelundup Terancam Mentah, KUHAP Baru Pangkas Kewenangan Bea Cukai
Sikap pemerintah ini muncul di tengah kritik tajam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang mengidentifikasi ada lima ketentuan dalam KUHAP berpotensi melanggar HAM.
Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah menyoroti penggunaan kewenangan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, dan penyadapan yang tidak diikuti mekanisme pengawasan ketat.
“Perlu penegasan sanksi untuk bukti dari penyiksaan/penyadapan ilegal,” tegas Anis melalui keterangan resminya, Sabtu (22/11/2025) kemarin.
Komnas HAM mengkritisi mekanisme praperadilan yang hanya memeriksa aspek formil atau administrasi, bukan aspek materiel yang justru paling banyak disorot dalam penegakan hukum. Perubahan alat bukti dengan frasa “segala sesuatu yang diperoleh secara legal” dinilai bermakna luas dan multitafsir, berisiko menimbulkan penyalahgunaan bukti ilegal seperti hasil penyadapan tidak sah.
KUHAP juga tidak mencantumkan ketentuan tegas terkait konsep koneksitas untuk menjembatani perkara pidana yang melibatkan anggota militer dan sipil. Komnas HAM meminta pemerintah membuka ruang partisipasi publik bermakna dalam pembentukan peraturan pelaksana KUHAP dan menghormati hak konstitusional warga negara yang akan mengajukan judicial review.
