Ketergantungan Energi Fosil
Policy Strategist CERAH, Sartika Nur Shalati, menambahkan investasi ke pembangkit listrik berbahan fosil berisiko membuat sistem energi nasional tergantung pada energi kotor. Pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang memiliki umur teknis 25-30 tahun misalnya, biasanya akan diikuti investasi pembangunan pipa gas dan terminal gas alam cair (liquefied natural gas/LNG), kontrak pasokan gas jangka panjang, peningkatan impor gas, dan subsidi pemerintah melalui harga gas bumi tertentu (HGBT).
“Ketika proyek infrastruktur gas sudah dibangun dan modal besar sudah tertanam (sunk cost), sangat sulit bagi pemerintah atau operator untuk menutupnya sebelum akhir umur teknisnya, kecuali dengan kompensasi besar,” kata Sartika.
Menurut Sartika, penambahan PLTU di tengah dominasinya yang mencapai 70% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik bukan merupakan langkah yang tepat. Jika PLTU terus ditambah, maka pemerintah daerah–terutama yang selama ini ekonominya bergantung pada batu bara–semakin kehilangan waktu untuk membangun ekonomi alternatif di tengah sumber daya alam dan lingkungan yang telah terdampak.
“Menambah PLTU dalam RUPTL hari ini, sama seperti menuangkan bensin ke rumah yang sudah kebakaran. Di saat kita harus keluar dari dominasi batu bara, RUPTL justru memberi ruang baru. Padahal tanpa tambahan sekalipun dalam grid PLN, PLTU tetap tumbuh diam-diam lewat captive power,” ujar Sartika.
Seluruh ekosistem ini membentuk ketergantungan struktural dan ekonomi yang sulit diakhiri. “Ini menciptakan insentif untuk mempertahankan operasi fosil lebih lama dari yang ideal dalam skenario iklim. Jika itu terjadi, lagi-lagi, kita hanya akan mengulang apa yang hari ini kita hadapi di sektor batu bara terkait sulitnya mengakhiri ketergantungan pada ekosistem PLTU yang sudah terlanjur dibangun,” tegas Sartika.