VOICEINDONESIA.CO, Beijing – Tak hanya di Indonesia, krisis pekerjaan juga menimpa generasi muda Tiongkok.
Bahkan memunculkan fenomena sosial baru yaitu menjadi “cucu full-time.”
Cucu Full Time yang dimaksud adalah mereka anak-anak muda yang kesulitan memperoleh pekerjaan memilih kembali ke kampung halaman untuk merawat dan menemani kakek-nenek mereka secara penuh waktu.
Fenomena ini tak hanya mencerminkan tingginya tingkat pengangguran di kalangan usia 16–24 tahun, tetapi juga menjawab kebutuhan mendesak akan pendampingan bagi lansia yang hidup sendiri dan mengalami kesepian.
“Istilah ‘cucu full-time’ kini identik dengan peran lebih dari sekadar pengasuh,” dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Rabu (2/7/2025).
Para cucu ini membantu mengatur jadwal medis, mengelola rumah tangga, hingga menjadi penyemangat emosional bagi orang tua lanjut usia mereka.
Data pada April 2024 menunjukkan tingkat pengangguran pemuda Tiongkok mencapai 15,8 persen—setara satu dari enam orang. Dalam kondisi ini, menjadi ‘cucu full-time’ dianggap sebagai bentuk adaptasi sosial dan ekonomi, bukan kemunduran karier.
“Kita hanya punya 30.000 hari dalam hidup. Uang bisa dicari nanti, tapi waktu bersama kakek-nenek tak bisa diulang,” ujar seorang cucu yang kini menetap kembali di desa.
Tak sedikit yang mengajak kakek-nenek mereka menikmati aktivitas kekinian, seperti minum teh susu atau makan di restoran tren. Dalam relasi ini, mereka lebih berperan sebagai sahabat daripada sekadar perawat.
Meski banyak yang mengapresiasi, tren ini memicu perdebatan. Sebagian mempertanyakan realitas ekonomi di baliknya.
“Tidak semua orang punya kakek-nenek dengan uang pensiun cukup untuk membiayai cucu,” tulis seorang netizen.
“Kakek saya hanya pensiun 100 yuan per bulan. Mana bisa membiayai saya?”
Fenomena ini menjadi cermin ketimpangan sosial yang melebar: di satu sisi, menunjukkan solidaritas keluarga lintas generasi; di sisi lain, menyingkap rapuhnya jaminan kerja dan sistem kesejahteraan lansia di negeri berpenduduk terbesar di dunia itu.