Banner
Live Streaming VOICEIndonesia

KP2MI Dinilai Lindungi P3MI Bermasalah, Sanksi Hanya Formalitas

by Sintia Nur Afifah
0 comments
A+A-
Reset

VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menilai Kementerian Pelindung Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) justru terkesan melindungi perusahaan penempatan bermasalah. Penyegelan kantor Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang diduga melanggar hak pekerja migran kerap dicabut tanpa alasan jelas, sementara sanksi administratif hanya menjadi prosedur formal tanpa penegakan hukum.

Hal ini diungkapkan Sekretaris SBMI, Juwarih dalam konferensi pers Jaringan Advokasi Kawal Revisi UU PPMI di Sekretariat AJI, Jakarta Pusat, Jumat (05/12/2025), sekaligus membongkar praktik penegakan hukum yang setengah hati oleh KP2MI. Menurutnya, perusahaan yang disegel karena pelanggaran berat justru diberi izin beroperasi kembali dalam waktu singkat.

“Ketika KP2MI mengeluarkan teguran tertulis dan menyegel P3MI, dalam waktu satu bulan diberi izin beroperasi P3MI. Tanpa adanya misalkan ketika dia melakukan teguran tertulis, dia sudah menjelaskan bahwa P3MI tersebut diduga melakukan pelanggaran ABC. Tetapi pada saat dia diberikan izin beroperasi oleh KP2MI itu tidak tahu dasarnya apa,” ungkapnya.

Baca Juga: Terancam! Perlindungan Pembela HAM Pekerja Migran Tak Masuk Dalam RUU P2MI

Juwarih mempertanyakan inkonsistensi KP2MI dalam penegakan aturan. Di satu sisi lembaga ini mudah mengeluarkan teguran dan melakukan penyegelan, namun proses hukumnya tidak jelas dan tidak ada kepastian sanksi.

“Ini juga membuat catatan dari kami, kok kenapa ketika P3MI tersebut, ketika mereka mudah mengeluarkan teguran tertulis melakukan penyegelan, tetapi proses hukumnya tidak jelas. Apakah diberikan sanksi? Padahal KP2MI ini sudah mengeluarkan peraturan Menteri terkait tentang cara pemberian sanksi,” kritiknya.

Baca Juga: Revisi UU P2MI Didorong Berbasis Pendekatan HAM

Juwarih mengungkapkan kasus mediasi yang berlarut-larut tanpa penyelesaian. Beberapa kasus yang sudah diadukan ke KP2MI hampir setahun lamanya masih belum ada progres jelas.

“Beberapa kasus yang sudah kami adukan ke KP2MI, kasusnya ini diadukan dengan yang kemarin, karena hampir satu tahun kita membuat pengaduan di KP2MI. Update dan prosesnya itu masih belum progresif. Dalam arti mereka hanya membuat klarifikasi tanpa misalkan ada tindakan status,” jelasnya.

Juwarih menceritakan alur penanganan kasus yang berbelit dan tidak efektif. Ketika mediasi di KP2MI gagal, kasus seharusnya naik ke Kementerian Ketenagakerjaan, namun prosesnya justru terhenti.

“Kalau dulu misalkan kita mediasi di KP2MI, mediasi tersebut ternyata gagal, kita naik ke KP2A ke Kemnaker. Nah sekarang sudah hampir dua kali klarifikasi, mediasi juga beberapa kali P3MI tidak hadir. Jadi seolah-olah KP2MI memberikan sanksi atau apa, seolah-olah meragui, ada keraguan,” ungkapnya.

Juwarih menegaskan dengan masih dibahasnya revisi UU P2MI, seharusnya ada kepastian hukum dalam mekanisme penegakan sanksi. Keberadaan PPNS di KP2MI pun masih belum efektif dalam menangani pelanggaran.

“Dengan masih dibahasnya Undang-Undang 18 ini, di KP2MI itu ada penyidik tetapi proses mekanisme yang melakukan penyidikan itu masih belum efektif menurut kami. Karena dugaan kami ada beberapa LPK, lembaga-lembaga yang lain maupun orang per orang yang melakukan perekrutan, nah ini peran dari PPNS atau penyidik di KP2MI ini seperti apa,” pungkasnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menambahkan pemerintah mengklaim telah melakukan banyak upaya pengawasan. Namun Komite Pekerja Migran PBB mencatat bukti pencapaian dan konsistensi penerapan masih perlu dikuatkan.

“Pemerintah melaporkan bahwa banyak upaya pengawasan telah dilakukan namun komite tetap memberikan catatan bahwa bukti pencapaian dan konsistensi penerapan yang terlihat itu ternyata masih perlu dikuatkan,” paparnya.

Aktivis Solidaritas Perempuan, Novia Sari, menilai lemahnya penegakan sanksi akibat tidak adanya regulasi jelas tentang tanggung jawab. Dalam revisi UU P2MI pun belum diatur siapa yang bertanggung jawab memberikan sanksi kepada perusahaan penempatan yang melanggar.

“Di dalam revisi undang-undang 18 ini KP2MI ada beberapa regulasi yang mengatur misalkan terkait tentang perizinan terkait tentang pemberian sanksi, tetapi belum diatur juga siapa yang melakukan tanggung jawab. Misalkan dalam hal melakukan tanggung jawab ini yang memberikan sanksinya siapa,” katanya.

Program Officer Human Rights Working Group, Ariela N. Syifa, menambahkan Komite PBB mempertanyakan aktivitas pengawasan terkait sanksi untuk agensi perekrutan yang tidak bertanggung jawab. Pertanyaan ini menunjukkan kelemahan sistem pengawasan Indonesia.

“Komite juga menyampaikan pertanyaan terkait aktivitas pengawasan terkait sanksi untuk agensi perekrutan yang tidak bertanggung jawab, kemudian peningkatan koordinasi yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia dan kementerian terkait,” jelasnya.

Editorial VOICEIndonesia

Tentang VOICEINDONESIA.CO

LOGO-VOICEINDONESIA.CO-Copy

VOICEIndonesia.co Merupakan Rumah untuk berkarya, Menyalurkan Bakat, Ide, Beradu Gagasan menyampaikan suara Rakyat dari pelosok Negeri dan Portal berita pertama di Indonesia yang secara khusus mengulas informasi seputar Ketenagakerjaan, Juga menyajikan berita-berita Nasional,Regional dan Global . VOICEIndonesia.co dedikasikan bukan hanya sekedar portal informasi berita online biasa,Namun lebih dari itu, menjadi media mainstream online pertama di Indonesia,menekankan akurasi berita yang tepat,cepat dan berimbang , cover both side, reading tourism, user friendly, serta riset.

KONTAK

HOTLINE / WHATSAPP :

Follow VOICEINDONESIA.CO