VOICEINDONESIA.CO, Tangerang – Pemutusan hubungan kerja yang menimpa 3.000 buruh PT Victory Chingluh Indonesia di Tangerang memicu perdebatan sengit antara Kementerian Perindustrian dan serikat pekerja. Kedua pihak menyajikan narasi berbeda soal penyebab PHK massal di pabrik produsen sepatu Nike tersebut.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kemenperin Rizky Aditya Wijaya menyebut PHK ini bagian dari strategi relokasi pabrik ke wilayah Jawa Tengah yang menawarkan upah tenaga kerja lebih murah. Komponen upah pekerja dinilai menjadi beban produksi terbesar bagi industri padat karya seperti pabrik sepatu, Minggu (02/11/2025).
“Dan terjadinya PHK di fasilitas produksi, khususnya di wilayah barat Jawa, ini kan alas kaki itu padat karya, komponen terbesar itu tenaga kerja,” kata Rizky, Kamis (30/10/2025).
Baca Juga: 3.000 Buruh Nike Dipecat, KASBI Pertanyakan Kinerja Satgas PHK Pemerintah
Kemenperin menerima informasi dari Asosiasi Persepatuan Indonesia bahwa tujuan relokasi pabrik dari Tangerang adalah ke Cirebon.
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Unang Sunarno membantah keras narasi pemerintah tersebut. Ia menegaskan akar masalah PHK massal bukan tingginya upah minimum di Kabupaten Tangerang melainkan terjadinya pengembalian barang ekspor yang seharusnya dapat dicegah.
Baca Juga: Danone Putus Kontrak dengan Pabrik Plastik, Ratusan Karyawan Terancam PHK
Sunarno menilai pemerintah keliru membingkai isu PHK sebagai persoalan upah tinggi. Menurutnya, permasalahan sebenarnya terletak pada kegagalan perusahaan mengelola kualitas produksi sehingga terjadi retur barang yang merugikan perusahaan dan berujung pada pemecatan massal.
“Seperti yang disampaikan presiden, harus ada upaya dari satgas untuk melakukan pencegahan PHK,” ujarnya.
KASBI menekankan kasus PHK di PT Victory Chingluh bersifat kasuistis dan bergantung pada hasil evaluasi terhadap penyebab teknis retur barang.
Organisasi buruh ini masih menunggu kejelasan terkait potensi gelombang PHK lanjutan yang mengancam sisa 1.200 karyawan yang belum terkena efisiensi dari total 3.000 pekerja. Perbedaan pandangan tajam antara pemerintah dan serikat pekerja ini menempatkan nasib ribuan buruh dalam ketidakpastian.
