JAKARTA, AKUUPDATE.ID – Pekan lalu Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi atau judicial review UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia PPMI yang diajukan oleh Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ASPATAKI.
Keputusan tersebut disambut gembira buruh migran dan beberapa organisasi buruh yang membantu melindungi mereka dari modus pengiriman dan penempatan buruh migran yang beritikad buruk.
“Kami senang dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan ASPATAKI soal modal disetor dan deposito sebagai jaminan…,” komentar Siti.
“Kami sangat senang dengan keputusan ini. Benar-benar ini salah satu bentuk kemenangan kami, para buruh migran dan LSM yang selama ini memperjuangkan kami. Setelah debat dan perjuangan sekian panjang, akhirnya ditolak juga oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Ayumi, salah seorang buruh migran.
Baca Juga : DPR : Penyiksaan Terhadap TKI Termasuk Kejahatan Sekaligus Penghinaan Kepada Negara
Sehari setelah putusan penolakan oleh Mahkamah Konstitusi, mantan buruh migran di Singapura Arumy Marzudhy, dan Siti Badriah, mantan buruh migran di Malaysia dan Brunei Darussalam, yang ikut mengamati dengan seksama persidangan di Mahkamah Konstitusi, tak dapat menyembunyikan kegembiraannya .
Sidang putusan yang digelar secara virtual Rabu lalu (25/11), hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengatakan pokok permohonan tidak beralasan secara hukum sehingga memutuskan menolak seluruh permohonan pemohon.
Pemohon, yang dalam hal ini Asosiasi Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia ASPATAKI, mengajukan uji materi atas tiga pasal dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia PPMI yang dinilai memberatkan pelaku usaha karena perusahaan penempatan pekerja migran harus memiliki modal minimal lima miliar rupiah, meminta pertanggungjawaban bahkan ketika pekerja sudah ditempatkan di luar negeri, dan pemberlakuan sanksi.
Ketua Umum ASPATAKi Saiful Mashud, ketika menyampaikan uji materi Februari lalu, mengatakan UU PPMI itu aneh dan tidak adil. Ia merasa UU itu membatasi ruang gerak perusahaan dan kewenangannya kini diambil alih oleh pemerintah.
ASPATAKI meminta Mahkamah Konstitusi menguji Pasal 54 ayat (1) huruf a dan huruf b, Pasal 82 huruf a dan Pasal 85 huruf a UU PPMI.
Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia SBMI memuji keputusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai telah menyelamatkan buruh migran dari praktik perdagangan orang melalui modus pengiriman pekerja migran yang sering dilakukan P3MI, atau dulu dikenal sebagai PJTKI.
Namun aktivis buruh migran di Hong Kong, Sringatin, mengkritisi pencapaian keputusan Mahkamah Konstitusi ini.
“Ada beberapa hal yang harus kita cermati. Pertama, ini kemenangan atas ditolaknya uji materi ASPATAKI, tapi yang sesungguhnya menang adalah pemerintah karena deposito itu larinya toh ke pemerintah. Buruh migran yang sebagian besar pekerja rumah tangga justru tidak pernah tahu bagaimana caranya mereka menuntut ganti rugi dari PJTKI jika terjadi pelanggaran dan jika PJTKI menolak memberikannya, lalu buruh harus mengadu ke mana?,” ujar Sringatin.
“Tidak pernah ada sistem yang transparan, jadi kita tidak tahu harus kemana. Juga soal definisi pelanggaran, yang selama ini dianggap sebagai pelanggaran jika pengiriman dan penempatan buruh migran di luar PJTKI atau disebut sebagai perdagangan orang,” katanya.
Sringatin, yang sudah bekerja di Hong Kong selama lebih dari 17 tahun, secara terbuka mengajak semua pihak melihat masalah buruh migran secara lebih dalam.
“Padahal jika kita mau melihat lebih dalam, PJTKI adalah salah satu lembaga atau sindikat di bawah pemerintah yang selama ini secara tidak langsung menjalankan sistem perdagangan orang secara halus. Artinya buruh migran selalu mengalami apa yang dikenal dalam perdagangan orang, seperti: pemaksaan pekerja, pemalsuan dokumen dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya. Semua tahu selama proses pengiriman buruh migran ke luar negeri selama puluhan tahun ini terus terjadi,” kata Sringatin.
“Ini fakta yang harusnya pemerintah sudah tahu dan menyadari apakah dengan menaikkan deposito ini bakal membuat PJTKI ‘lebih ‘takut’ pada pemerintah? Hakekatnya adalah apakah hal ini akan menjawab harapan para buruh migran, yang mayoritas adalah pekerja rumah tangga dan berarti ia harus masuk PT, ketika hak-nya dilanggar, apakah ia bisa mengakses uang deposito ini. Kami merasa ini masih sulit. Tapi tentu saja kami mengapresiasi pencapaian ini,” ungkap Sringatin.
Baca Juga : Kemnaker Menyelidiki P3MI terkait Infeksi COVID-19
Selama sidang uji materi, Mahkamah Konstitusi menghadirkan puluhan buruh migran, mantan buruh migran hingga aktivis dan pakar hukum untuk memberi kesaksian tentang tiga pasal yang diuji.
Beberapa kali sidang terpaksa ditangguhkan karena majelis hakim tak kuasa mendengar kesaksian miris para buruh migran akan apa yang mereka alami selama mengadu nasib di negeri orang.
Ada sekitar 400 ribu warga Indonesia yang mengadu nasib menjadi buruh migran secara legal di luar negeri. Jumlah sesungguhnya diperkirakan jauh lebih besar karena banyak yang bermigrasi secara ilegal dan tidak tercatat.
Berdasarkan data Bank Indonesia, kiriman devisa dari pekerja migran di luar negeri atau dikenal sebagai remitansi, pada kuartal kedua tahun ini mencapai 2,2 juta dolar atau sekitar 33,4 triliun rupiah.
Jumlah tersebut turun 13 persen dibanding kuartal pertama. Buruh migran di Timur Tengah merupakan penyumbang remitansi terbesar dibanding mereka yang bekerja di Asia Tenggara, Australia, Afrika, Amerika dan Eropa. (Reno)