JAKARTA, AKUUPDATE.ID – Martini seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Sukabumi, menjadi pramusaji di Turki setelah menerima tawaran agen penyalur Tenaga Kerja Indonesia (TKI) melalui jalur mandiri.
Ia berangkat pada tahun 2019 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Batam dan menyebrang menggunakan kapal feri menuju Malaysia. Kemudian, ia ditampung selama dua hari dan kemudian terbangkan ke Turki. Martini memang sampai ke negara yang dijanjikan, namun iming-iming nya tidak sesuai ekspektasi.
Melansir dari tirto.id “Di Turki, selama 10 hari saya dikurung, tidak ngapa-ngapain. Dan dikirim ke Libya,” ujarnya dalam konferensi pers daring Jaringan Buruh Migran, Kamis (17/12/2020).
Baca Juga : Menaker Perluas Kesempatan Kerja di Luar Negeri bagi PMI tahun 2021
Martini di sana bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART), tanpa menerima gaji selama sebulan, Martini justru dipukuli majikannya.
“Ini tidak sesuai kontrak. Saya tidak mau tanda tangan. Saya mau jadi waiters bukan ART.” Ujarnya.
Ia protes ke kantor penyalur kerja dan nihil hasil, setelah itu laporan penderitaannya ke KBRI setempat dan direspons pahit. “KBRI bilang, ‘kerja saja dulu, mungkin rezeki’. Kalau sesuai kontrak, ya enggak apa-apa. Ini enggak sesuai.”
Kemudian Martini mengadu ke Serikat Pekerja Migran Indonesia (SBMI) yang ikut membantu kepulangannya ke Indonesia. Setelah tiba di tanah air, Martini protes ke agen penyalur tempat ia disalurkan ke Libya. Kemudian, Martini berhasil menjerumuskan penyalu tersebutr ke penjara.
Dalam salinan putusan, tertera nama terdakwa Erna Rachmawati alias Yolanda, pada 19 Desember 2019. Hakim Ketua Syahrudin Ainor Rafiek menyatakan, Yolanda atas tuduhan perdagangan orang dan dihukum lima tahun penjara dan denda Rp 120 juta.
Setelah mengalami nasib pilu, Martini memutuskan untuk buka usaha. Namun pandemi COVID-19 yang menjangkau Indonesia pada Maret 2020 membuatnya bangkrut. Ia berharap pemerintah bisa memberikan bantuan di masa sulit ini dan juga berharap bisa melindungi orang-orang seperti Martini di luar negeri. “Tolonglah, mereka perlu perhatikan. TKI, kita pahlawan devisa. Cabut Kepmen 260/2015.”
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa, pekerja migran dilarang masuk ke beberapa negara Timur Tengah untuk pengguna perseorangan yaitu, Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Irak, Kuwait, Lebanon, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Sudah, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Yaman, Yordania, dan Libia. “Kami tidak merasakan perlindungan apa pun dari negara,” ujarnya.
Seknas Jaringan Buruh Migran (JBM) Savitri Wisnuwardhani menilai apa yang dialami Martini adalah imbas dari minimnya informasi yang diterima para calon pekerja migran.
Sebetulnya UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) sudah memiliki semangat perlindungan ketimbang UU sebelumnya. Masalahnya, “UU ini sifatnya umum sehingga butuh kekhususan aturan turunan agar pemda bisa mewujudkan layanan tingkat daerah.” “Aturan turunan yang pokok seperti PP ABK, Atase, RPP Perlindungan, belum disahkan hingga saat ini. Mandat UU PMI, kan, dua tahun disahkan,” katanya pada kesempatan yang sama.
Pandemi Covid-19 Kikis Perlindungan PMI
Lemahnya perlindungan PMI dikhawatirkan akan semakin rentan saat pandemi. Data dari JBM menunjukkan bahwa dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah kasus pada tahun 2020 mengalami peningkatan sebesar 61%, termasuk deportasi dan repatriasi PMI tanpa paspor dan trauma akibat penahanan.
Selain itu, “dari 35 responden survei, hasil sementara menunjukkan kondisi PMI justru lebih mengalami kerentanan dengan situasi kerja yang lebih buruk: beban kerja semakin berat, pemotongan upah, tidak ada hari libur, dan sulit untuk berkumpul terutama berorganisasi.”
PMI juga mengalami masalah penempatan selama masa pageblug ini. Setelah membuka saluran pengaduan tahun ini, SBMI mencatat 643 kasus. 75,74% mengatakan penempatan non prosedural. Sebagian besar penempatan non-prosedural dilakukan oleh perseorangan, terhitung 59,14%. Sedangkan 40,86% sisanya dikerjakan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dan perusahaan penempatan pelaut awak kapal.
Kebanyakan kasus dialami perempuan. Persentasenya mencapai 53,6 persen, sedangkan laki-laki 46,35 persen.
Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar, dalam kesempatan yang sama, mengatakan pemerintah “harus lebih kencang lagi (mengawasi) di penempatan karena non-prosedural lebih banyak.” Ujarnya.
Baca Juga : WNI Hidup Mandiri di Negeri Sakura Dengan Membuat Komunitas Bisnis ‘BBB’
Bobi mendesak pemerintah merevitalisasi seluruh layanan migrasi kerja, baik pada keberangkatan, selama, dan setelah pemulangan dengan menggunakan pendekatan HAM dan responsif gender.
Ketua Solidaritas Perempuan Dinda Yura menyampaikan, pendekatan yang sadar gender penting karena terutama perempuan rentan mengalami kekerasan, pelanggaran hak, dan kemiskinan.
Perempuan PMI juga rawan menjadi korban TPPO lantaran sistem migrasi berjalan tanpa perlindungan.
“Situasi buruh migran diperparah penanganan pandemi yang tidak berorientasi HAM dan arah kebijakan negara yang lebih mementingkan omnibus law untuk kepentingan investasi daripada kebijakan yang dibutuhkan PMI dan keluarganya, seperti aturan turunan UU PPMI, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga,” ujar Dinda dalam kesempatan yang sama.
Oleh karena itu, Dinda berharap pemerintah segera mengimplementasikan Konvensi migran dan UU PPMI dengan merombak paradigma komodifikasi menjadi orientasi Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan. (Heru)